Fenomena Rebahan dari Sudut Pandang Psikolog antara Kebutuhan dan Kebiasaan
Fenomena rebahan dari sudut pandang psikologi antara kebutuhan dan kebiasaan-Pexels.com-
JEKTVNEWS.COM- Fenomena “rebahan,” atau berbaring dan bersantai tanpa aktivitas yang berarti, kini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari banyak orang, terutama di kalangan anak muda. Istilah ini sering dianggap identik dengan malas atau kurang produktif, tetapi dari sudut pandang psikologi, rebahan memiliki dimensi yang lebih kompleks dan menarik untuk dikaji.
Menurut para psikolog, rebahan menjadi aktivitas favorit karena memberikan sensasi ketenangan dan rasa aman yang kita butuhkan, terutama dalam lingkungan modern yang penuh tekanan. Ketika seseorang merasa lelah baik secara fisik maupun mental, tubuh dan pikiran secara alami mencari waktu untuk pulih, dan rebahan adalah cara yang efisien dan mudah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Rebahan sering dikaitkan dengan “coping mechanism” atau mekanisme untuk meredakan stres, yang penting bagi kesehatan mental.
BACA JUGA:Efek Negatif Suntik Putih Bagi Tubuh, Kenali Sebelum Mencobanya
Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa orang yang sering melakukan aktivitas rebahan sebenarnya mungkin mengalami kelelahan kronis atau burnout, meskipun tidak selalu disadari. Hal ini sering kali terjadi pada mereka yang mengalami stres tinggi di tempat kerja, pendidikan, atau bahkan dari interaksi sosial.
Seperti yang dijelaskan dalam Halodoc, “aktivitas rebahan dapat menjadi salah satu bentuk dari perilaku pengalihan, di mana seseorang mencoba menghindari tugas-tugas yang sulit atau melelahkan dengan cara yang lebih mudah.” Kelelahan ini tidak selalu tampak secara fisik, namun secara psikologis bisa sangat mempengaruhi seseorang, hingga akhirnya tubuh memilih untuk beristirahat dengan rebahan.
Kelelahan akibat tekanan yang berkepanjangan, adalah salah satu alasan utama seseorang merasa butuh rebahan dalam waktu lama. Berdasarkan teori psikologi, burnout tidak hanya terjadi karena beban pekerjaan yang terlalu berat, tetapi juga karena kurangnya “self-care” atau perawatan diri yang memadai. Rebahan sering dipandang sebagai bentuk sederhana dari self-care yang membantu tubuh dan pikiran untuk pulih.
BACA JUGA:Tidur Tanpa Batal Banyak Khasiatnya
Namun, psikolog juga mengingatkan bahwa rebahan yang terlalu sering atau berlebihan bisa menjadi tanda masalah yang lebih dalam, seperti depresi. Ketika seseorang kehilangan minat untuk melakukan aktivitas produktif atau kegiatan sosial dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbaring atau tidur, ini bisa menjadi tanda awal dari masalah kesehatan mental yang perlu diperhatikan. Halodoc menegaskan bahwa “rebahan dapat menjadi tanda gangguan mood, seperti depresi, terutama jika disertai dengan hilangnya minat terhadap hal-hal yang biasanya disukai.”
Psikolog menyarankan agar rebahan tidak hanya dijadikan cara untuk melarikan diri dari masalah atau tanggung jawab, tetapi dilihat sebagai cara untuk mengisi ulang energi. Keseimbangan antara waktu untuk rebahan dan aktivitas produktif menjadi penting untuk menjaga kesejahteraan mental. Beristirahat adalah hak setiap individu, tetapi tetap penting untuk memahami kapan tubuh benar-benar membutuhkan rebahan dan kapan kita hanya mencari alasan untuk menunda pekerjaan.
BACA JUGA:Rokok, Racun yang Terbungkus Kertas
Fenomena rebahan juga tak lepas dari peran media sosial, di mana istilah ini sering dianggap sebagai meme atau lelucon, terutama di kalangan anak muda. Menganggap rebahan sebagai hal yang lumrah dan “keren” justru bisa membuat orang merasa tidak bersalah jika terlalu sering melakukannya. Padahal, jika tidak disertai pemahaman yang tepat, rebahan bisa menjadi kebiasaan yang kurang sehat dan mengurangi kualitas hidup.
Di satu sisi, rebahan memiliki manfaat dalam mengurangi stres dan kelelahan. Namun di sisi lain, rebahan yang berlebihan bisa menurunkan motivasi, menimbulkan perasaan bersalah, atau bahkan memperburuk kondisi mental.
Sumber: