Hari Bumi: Ubah Kebiasaan, Mari Beralih ke Green Jobs

Hari Bumi: Ubah Kebiasaan, Mari Beralih ke Green Jobs

Pemaparan Gagasan Perwakilan Komunitas Anak Muda dan Teman Disabilitas -Koalisi Indonesia -

Anindita Sekar Jati adalah mantan manajer komunikasi New Energy Nexus yang berbasis di Jakarta. Dia tidak menyangka peminatan dia terhadap dunia komunikasi dan broadcasting justru menggiringnya menggeluti Green Jobs. Sebelum di Nexus, organisasi yang berfokus pada entrepreneurship, Anindita pernah magang di rumah produksi dokumenter kemudian pindah bekerja ke Yayasan WWF.

“Saya itu bekerja di sektor sustainability agak nyasar. Semula peminatannya broadcasting sesuai dengan jurusan kuliah di Fakultas Komunikasi Universitas Indonesia. Saya magang di rumah produksi dokumenter hingga kemudian dikenalkan dengan rekan yang bekerja di WWF. Saya sadar, ini bukan organisasi kecil. Sistem kerjanya kompleks yang juga melibatkan rekan pemerintah dan entitas usaha swasta,” jelasnya dalam podcast Subjective yang merupakan program kerja sama dengan Koaksi Indonesia.

Bekerja di New Energy Nexus, dia mempelajari ragam isu seputar perubahan iklim, transisi energi, dan liku pengembangan energi terbarukan. Sesuai dengan tempat kerjanya yang berfokus pada wirausaha di sektor energi terbarukan, wawasannya akan energi terbarukan makin luas dan bertumbuh.

Menurutnya, usaha rintisan berbasis digital yang fokus pada energi terbarukan masih sangat jarang. Beberapa yang sudah hadir di antaranya Sylendra Power, Forbetric, Warung Energi, Pendulum, dan Bionersia.

Green Jobs dengan IoT eFishery

Sementara di Bandung, Ivan Nashara Haryanaprawira, Product Manager Ruang Guru, menceritakan pengalamannya menjadi pekerja hijau saat terlibat dalam pemasaran produk mesin pemberi pakan otomatis berbasis internet (IoT automatic feeder) ikan dan udang tambak milik eFishery.

Ivan menjelaskan urgensi pemodernan sistem budi daya produk perikanan di Indonesia. Salah satunya yang dilakukan eFishery dengan memperkenalkan mesin pintar pemberi makan ikan dan udang tambak di Indonesia.

Menurutnya, modernisasi ini penting karena banyak pelaku usaha tambak yang tertatih-tatih hingga merugi. Bukan hanya soal hilirisasi produk perikanan, tetapi persoalan di hulu, yakni ongkos produksi mulai dari tenaga kerja hingga urusan pakan. Pakan dalam usaha akuakultur menyedot 80% biaya operasional. Selain itu, semakin banyak pemberian pakan semakin banyak emisi yang terlepas ke udara.

“Dengan IoT automatic feeder, petambak bisa mengatur pola pemberian pakan. Bisa 10 detik atau satu menit sekali. Kontrol dan penyusunan jadwal pemberian pakan bisa dilakukan lewat telepon pintar. Pemberian makan secara teratur dan terkendali akan membuat ikan sehat dan gemuk. Ada beberapa efek lain yang juga bagus. Ketika pemberian makan bisa teratur dan terkendali, pakan tidak larut dalam air. Kualitas air dan ikan bagus,” jelasnya.

Menurut Ivan, peluang Green Jobs di sektor ini terbuka luas.

“Kita masih penasaran kenapa Indonesia tidak unggul. Target tambak udang di Indonesia pun jutaan ton. Belum lagi ada program dua ribu tambak atau tambak milenial. Potensi bisnis ini menjadi luas dengan ukuran perekonomian yang juga besar. Ratusan ribu orang dan lahan kerja. Kalau bisa efisien bisa buat Indonesia bersaing,” tutup Ivan.

Semua Bisa Beralih ke Green Jobs

Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia a. Azis Kurniawan menjelaskan, Green Jobs merupakan pekerjaan layak dan ramah lingkungan.

Dengan definisi itu, Green Jobs tidak hanya berkutat pada sektor manufaktur, konstruksi, dan energi hijau, seperti energi terbarukan dan transisi energi, tapi juga bisa dilakukan oleh pekerja di semua sektor. Contohnya pekerja di perkantoran hijau (green office), usaha konstruksi hijau (green construction), serta gedung ramah lingkungan atau green building.

“Pekerjaan layak indikatornya banyak, tidak eksploitatif secara fiskal dan tidak diskriminatif secara sosial. Kedua, pekerjaannya berkontribusi memulihkan lingkungan,” jelas Azis Kurniawan.

Sumber: