Clean Energy ’Jaringan Cerdas PLTS’, Sudah Saatnyakah Kita Beralih?
Sudah saatnya kita beralih ke jaringan cerdas PLTS-Dok Pribadi-
Bicara tentang Indonesia, tentu sudah familiar dengan segala energi terbarukan yang dimiliki. Apalagi sebagai wilayah tropis dengan ketersediaan matarahari yang cukup dan terpenuhi sepanjang tahun.
Hanya saja kita masih di angka minimal dengan hasil 0,04% dari total produksi energi (IRENA, 2021). Padahal Indonesia diklaim mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 640.000 Terrawatt per jam (Twh) per tahun dari energi matahari.
BACA JUGA:Revitalisasi Pasar 16 Ilir di Palembang Hadirkan Keindahan dan Kemegahan Baru
Sedangkan dari tenaga listrik saat ini hanya 272,42 Twh (ESDM, 2020). Belum lagi, catatan Carbon Tracker (2021), bahwa panel surya atau instalasi photovoltaic (PV) diperkirakan lebih murah dibandingkan PLTU.
Hanya saja secara efisiensi dan low maintenance, PLTU menjadi andalan negara. Belum lagi harus ada ketersediaan lahan yang luas.
Indonesia juga telah memiliki kebijakan dari KESDM No. 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum dan kini tengah direvisi, dimana pemakaian PLTS Atap hanya bisa digunakan untuk kebutuhan secara mandiri dan tidak bisa dijual kepada PLN.
Perubahan ini tentu saja menjadi diskusi menarik ditengah maraknya PLTS Atap yang dianggap mampu menyimpan kelebihan energy dan bisa menjadi peluang usaha electricity melalui kebijakan negara seperti EVN.
Padahal EBT Indoensia sesuai dengan Renstra akan mensuplai kebutuhan sebesar 31% pada 2050. Siklus panel suray yang hanya mampu sekitar 15 atau 20 tahun juga menjadi PR tersendiri, ditengah menyempitnya lahan (1.37 hektar untuk membangkitkan 1 GWh listrik), perubahan cuaca hingga mungkin dampak terhadap burung yang mati karena sengatan listrik PLTS.
Siapkah Indonesia Beralih?
BACA JUGA:Taklukakan Kento Momota dalam Duel Sengit, Jonatan Christie Melaju ke 16 Besar Australia Open 2023
Peralihan terhadap energi terbarukan bukan hal yang mudah. Ada banyak faktor yang musti disiapkan secara perangkat infrastruktur oleh negara.
Bukan hanya pada level kebijakan yang harus dilakukan harmonisasi hingga tingkat daerah namun juga kapasitas sumber daya manusia, hingga daya dukung lingkungan.
Sebagai perbandingan, saat ini 90% kebutuhan listrik negara masih bergantung pada pemenuhan batubara, karena bisa diandalkan, serbaguna, dapat diprediksi dan kompatibel bersanding dengan energi lainnya.
Memang butuh waktu panjang proses batubara terjadi (340 tahun). Namun efisiensi penggunaan dengan penerapan pengurangan jumlah emisi yang dilakukan dapat juga menjadi alternatif.
Dalam konteks bicara EBT, memang seperti paradoks. Di sisi lain kita harus memenuhi target global dalam NDC pada 2030 dengan target 29% dengan akselerasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan bauran 25% energi nasional pada 2025 mendatang.
Sumber: