MEMBANGUN EMPATY GENERASI DITENGAH PANDEMI COVID-19: REFLEKSI 76 TAHUN KEMERDEKAAN RI

MEMBANGUN EMPATY GENERASI DITENGAH PANDEMI COVID-19:  REFLEKSI 76 TAHUN KEMERDEKAAN RI

Nor Qomariyah

Hujan gerimis sejak pagi membuat Sebagian masyarakat mengurungkan aktifitasnya. Sudut pasar Angso Duo yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk pedang dan pembeli pun tak luput dalam kesepian yang sama. Malas beranjak dari tempat tidur, tentu saja dengan cuaca dingin di tengah pandemic covid 19 yang belum selesai di salah satu belahan Sumatra ini. PPKM level 4 pun akhirnya menjadi pilihan untuk menekan angka kematian dan korban dari pandemic ini yang terus berlanjut, bertambah dan membuat kita semua harus selalu waspada.

Pandemi Covid 19, memang tak hanya membuat perekonomian turun drastic, namun juga membuat resah para ibu rumah tangga. Bagaimana tidak, para ibu ini harus benar-benar menghitung biaya kebutuhan sehari-sehari dan nilai pendapatan yang didapatkan. Banyak sudah tak terhitung banyaknya ‘perempuan pekerja rumah tangga’ yang mengeluh kehilangan pekerjaan, bahkan membuat angka kasus perceraian di Jambi juga tinggi. Pada 2019 di seluruh Provinsi Jambi terdapat 4.679 kasus perceraian. Sedangkan di Kota Jambi mencapai angka tertinggi pada level 1.087 kasus perceraian. Ekonomi menjadi salah satu muara penyebab perceraian ini terjadi. Sehingga mendorong berbagai dapak ikutan yang ditimbulkan, tak hanya soal psikologi namun juga keberlanjutan pendidikan hingga pergaulan sosial dunia anak yang harus tumbuh dengan kasih sayang yang minim.

Berbicara realitas sosial, pikiranku mulai melayang saat aku harus menyusuri kota dengan seribu Angkringan, yang tak lain adalah Yogyakarta. Tepat bulan Februari 2021, aku sengaja mengunjungi kota yang penuh dengan berbagai macam realita kehidupan, sekaligus menghadirkan hiburan dengan segala tempat wisatanya, mulai dari kuliner, tempat bersejarah, hingga keindahan alam yang ditopang oleh Gunung Merapi dan Kopi yang tumbuh menjadi penyangga kebutuhan ekonomi sebagian besar masyarakat yang tinggal disekitarnya. Komoditi ini menjadi pilihan masyarakat, karena mudah dikelola dengan cara tradisional, perawatan intensif, tanah subur dan tentu saja sedang menjadi trend minuman kekinian sejak tahun 2017 lalu. Apalagi sudah diperkenalkan oleh Belanda di negara ini sejak 1969, dimana walikota Amsterdam, Nicholas Witsen memerintahkan komandan pasukannya Adrian Van Omen untuk membawa biji kopi ke Batavia hingga akhirnya menyebar ke belahan pulau Indonesia.

Mampir ke sebuah angkringan yang terkenal dengan Kopi Arang atau the Carcoal Coffee dengan bahan Kayu Sambi yang berasal dari Kalimantan, adalah salah satu tujuanku. Kopi yang sempat viral diberbagai media sosial, ini membuatku penasaran dengan sensasinya. Angkringan ini terletak di salah satu sudut kota Yogyakarta, Stasiun Tugu dengan harga yang ramah, Rp.5000,- yang tentu saja merakyat. Aku mengambil posisi duduk menghadap jalan raya, bagian depan dari Angkringan tepi jalan ini. Belum sempat Kopi ini tersaji, seorang anak perempuan dengan rambut terurai, berkaos warna ‘pink’ dan celana sepertiga dengan sekitar usia kelas 2 SD menghampiriku, memberikan sebuah amplop bertuliskan “Butuh Biaya Sehari-hari”. Hmmm…sejenak aku berfikir, bergumam dalam hati, dimana orang tuanya, apakah ia sendirian? Mengapa harus meminta-minta untuk memenuhi biaya keseharian. Tanpa sungkan dan cekatan tangan mungilnya juga membagikan amplop yang sama kepada pengunjung Angkringan lain. Sekejap aku mengamati, ada yang mengisi amplop, ada yang tidak. Tak sampai 10 menit menunggu, tangan mungilnya kembali mengambil amplop satu persatu, dari tangan pengunjung. Sampailah dia mengambil di mejaku, namun tercekat mulutku untuk bertanya karena rasa iba.

Pelan, aku mencoba mengikuti langkah sang anak perempuan ini, dengan gerakan mataku. Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat seorang bapak yang sedang menunggunya di bawah pohon rindang, di atas motor sambal merokok. Tak lama kemudian, sang bapak menggendong sang anak dan lalu pergi hilang menjauh dari pandanganku. Anak perempuan ini, tentu dari salah satu dari ribuan anak yang biasa kita temui dalam keseharian, ikut berjibaku, menengadahkan tangan tanpa ia tahu, apa tujuannya, megapa harus membagikan amplop kepada pengunjung Angkringan. Belum lagi hilang pandanganku, terlihat realita yang sama, anak-anak ini riuh rendah bersama temannya yang lain bersama-sama mengelilingi mobil dan motor diperempatan jalan, bersaing dengan beberapa pengamen jalanan yang usianya jauh lebih dewasa. Di kota lain mungkin realita ini juga akan sama dan entah sampai kapan realita ini terus berlangsung.

Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan dan Generasi ‘Kecil’
Enam bulan kepulangan dari kota Angkringan-Yogyakarta, pikiranku masih belum beranjak dengan realita yang aku temui sebelumnya. Perempatan jalan, lampu merah yang selalu ramai oleh dunia anak hingga dewasa, berebut mobil dan motor yang berhenti. Bahkan mungkin anak-anak ini tak sempat memikirkan resiko yang mungkin bisa saja terjadi selama berada di jalanan, kekerasan fisik, seksual, psikologis hingga rentan dengan kecelakaan lalu lintas yang bisa saja terjadi kapan saja jika tidak berhati-hati. Jumlah anak-anak ini terus bertambah, bahkan di saat Pandemi 19, BPS Kota Jambi menyebutkan mencapai 702 pada 2019, yang didalamnya terdapat anak yatim piatu dan bahkan terlantar.

Bicara soal anak, adalah bicara soal generasi. Generasi yang tentu saja menjadi tonggak perjuangan bangsa ini. Generasi yang akan mengantarkan pada prestasi dan kebanggan keluarga. Generasi yang menjadi harapan ibu pertiwi menjadi maju dan mampu menghadapi peradaban yang dinamis. Ini tentu menjadi refleksi kita bersama, apa peran yang bis akita lakukan untuk membantu mereka menjadi lebih baik ke depan, mendapatkan akses yang layak untuk pendidikan sebagai bekal masa depannya.

Perjalananku, membawa pada sebuah tempat tinggal generasi ini. Sebut saja rumah ‘kecil’, yang menjadi tempat mereka bisa bercengkerama, berbagi cerita dengan teman dan sahabatnya. Devi, sebut saja begitu. Anak perempuan yang kini menginjak kelas 4 SD. Dia merupakan satu diantara 48 anak, yang menghuni rumah ini. Dia mulai bisa menuturkan kisahnya bagaimana perjalanannya bisa sampai di rumah yang menurutnua penuh dengan kasih saying teman. Devi merasa lebih bahagia, meskipun tak bisa dihapus bagaimana kenangan bersama bapak ibunya yang kini tak lagi bersamanya, dan memilih membangun keluarga baru tanpa mengingat keberadaan Devi. Rara dan Bunga, yang menjadi bagian dari penghuni rumah kecil ini juga menjadi bagian cerita perjalanan hidup yang luar biasa. Ketegaran keduanya, bersabar entah kapan bisa bersama keluarganya Kembali adalah menjadi impian yang tak akan pernah berhenti menghiasi keinginannya. Penuturan yang patut menjadi refleksi bersama.

Gambaran realitas sosial sepanjang perjalanan Yogyakarta-Jambi menjadi catatan kecilku, menuntunku berfikir tentang gambaran masa depan negeri. Anak seringkali menjadi paling terdampak, dari adanya perceraian orang tua, ditambah dengan situasi pandemic covid-19. Mereka tidak pernah tahu mengapa harus ikut menanggung dampaknya, dituntut lebih dewasa bersikap dan belajar menghadapi realitas sosial yang keras bagi dunianya.

Selasa, 17 Agustus 2021, menjadi peringatan yang ke 76 tahun kemerdekaan Indonesia dari 350 tahun penjajahan yang telah berlangsung. Kemerdekaan bukan hanya catatan sejarah para pahlawan yang berjuang melawan penjajahan, namun juga pahlawan di sekitar kita atau bahkan kita sendiri menjadi bagian dari pahlawan dengan berbuat kebaikan, berani mengulurkan tangan ditengah berbagai kesulitan yang melanda berbagai pelosok tanah air di masa Pandemi.

Berempati, menjadi kata kunci melihat realita sosial ini. Tak harus menyalahakn kondisi, namun dengan bergandengan tangan, membangun empati sosial berskala nasional adalah gerakan bersama yang bisa kita lakukan. ‘Saleh sosial’ menjadi pilihan dalam tataran praktis menjalankan nilai keagamaan ditengah situasi sulit, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tanpa pandang latar belakang keagamaan, suku dan budaya. Bahkan al-Qur’an menyebutkan kata dasar ‘empaty’ ini dengan berbagai penyebutan mulai dari ‘ta’awun-menolong, asy-syi’r-merasakan, yasma’-mendengar, al-ikhlas-ikhlas dan hanifa-tulus’ yang menyebar diberbagai surah, seperti Ali-Imran: 160, Alhajj: 40, al-Ruum: 47, an-Nahl: 71, an-Naba’:35, al-Maidah:85, al-Nisa: 146 dan masih banyak lagi. Tak hanya al-Qur’an, empaty juga secara khusus disebutkan dalam Bible, dimana Yohannes menyebutkan bahwa ‘Sipapapun ketika memiliki harta duniawi, melihat sudaranya menderita kekurangan, namun ia menutup hati, maka kasih Tuhan tidak akan menetap dalam dirinya’ (Yohanes 3:17), mengasihi sesama juga menjadi penekanan kunci kebaikan manusia (Matius 22:39). Ajaran yang sama juga terdapat dalam Tripitaka maupun Wedha. Tentu secara keseluruhan empaty menjadi kunci kesalehan manusia yang mampu mendekatkan pada Tuhan YME.

Moment Membangun Kesalehan
Kita semua tentu menyadari, saat ini bangs akita menghadapi berbagai realita sosial yang sulit. Dampak pandemic bukan hanya soal angka kematian, namun juga angka perceraian dan bertambahnya jumlah anak yang semakin jauh dari orang tuanya. Pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk lebih sabar mengadapi perubahan dunia yang begitu massif dengan dinamika kemanusiaan. Bahkan Muhammad Iqbal (Reconstruction of Religious Thought in Islam) menegaskan bahwa hidup ini seluruhnya adalah perubahan. Hijrah, menjadi bagian kata yang merujuk pada bagaimana kita merubah diri dari saleh individu pada saleh sosial menuju kemajuan bangsa melalui generasi ‘kecil’ di masa yang akan datang. Karena kita adalah penentu perubahan bangsa (QS Ar-Ra’d 13:11).

Empaty, tentu saja menjadi momentum refleksi ditengah kemerdekaan yang telah diraih selama 76 tahun lamanya, menghadapi pandemi covid-19, dampaknya terhadap anak, memperbaiki sisi spiritual dan sosial mulai dari diri kita sendiri ikut berperan serta dalam menggugah kesadaran dalam membantu sesama, dalam kerangka ‘kemanusiaan’, membangun kesalehan diri lebih ihsan sebagai khalifah Tuhan di bumiNya.

Sumber: