Kisah Naga dan Viking Hidup Kembali, Remake Live-Action How to Train Your Dragon Tayang di Bioskop!

Kisah Naga dan Viking Hidup Kembali, Remake Live-Action How to Train Your Dragon Tayang di Bioskop!

Kisah Naga dan Viking Hidup Kembali, Remake Live-Action How to Train Your Dragon Tayang di Bioskop!--

JEKTVNEWS.COM- Bayangkan dunia tempat manusia dan naga hidup dalam ketegangan yang mencekam selama bertahun-tahun. Bayangkan pula seorang anak muda, kurus, canggung, dan dianggap lemah, justru menjadi jembatan antara dua dunia yang tak pernah bersatu. Itulah inti kisah How to Train Your Dragon, yang kini kembali menggebrak layar lebar dalam balutan live-action remake garapan Dean DeBlois—sosok yang juga bertanggung jawab atas trilogi animasinya.

BACA JUGA:Mudah dan Cepat! Begini Cara Cek NIK Karyawan di SIPP BPJS Ketenagakerjaan agar Tak Gagal Klaim

Setelah sukses menyihir hati jutaan penonton lewat versi animasi yang rilis pada 2010, Universal Pictures akhirnya mewujudkan impian banyak penggemar: membawa kisah ikonik ini ke dunia nyata. Bertempat di Pulau Berk yang eksotis dan dipenuhi aura Viking kuno, film ini menghadirkan kembali cerita klasik yang tetap memesona, namun kini dalam format sinematik yang lebih nyata, penuh efek visual memukau, dan tentu saja—sentuhan emosional yang lebih terasa.

Live-action How to Train Your Dragon tidak mencoba menulis ulang cerita dari awal. Sebaliknya, film ini setia terhadap sumber utamanya—baik dari novel karya Cressida Cowell tahun 2003 maupun dari versi animasinya. Ini bukan reboot yang mencoba menciptakan ulang karakter atau alur cerita, melainkan sebuah penghormatan visual terhadap kisah yang sudah sangat dicintai.

Mason Thames, bintang muda yang mencuri perhatian lewat The Black Phone, kini mengisi peran Hiccup Horrendous Haddock III, si putra kepala suku yang canggung namun berhati lembut. Sedangkan Gerard Butler, yang dahulu hanya menyumbangkan suara sebagai Stoick the Vast, kini tampil utuh sebagai ayah Hiccup dalam bentuk live-action. Keduanya menjadi jantung emosional dari film ini, dengan chemistry yang terasa kuat dan menyentuh.

BACA JUGA:Resmikan Sentra Layanan Prioritas di Cirebon, Kini BRI Miliki 43 Lokasi Layanan Premium yang tersebar di Selur

Bagi warga Pulau Berk, naga bukan sekadar binatang mitos. Mereka adalah ancaman nyata yang mencuri ternak dan merusak rumah. Bagi Hiccup, yang tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya yang keras, menjadi pemburu naga adalah satu-satunya jalan meraih kehormatan. Tapi semuanya berubah ketika ia menembak jatuh seekor Night Fury—naga paling misterius dan ditakuti.

Alih-alih membunuhnya, Hiccup memilih untuk merawatnya. Ia menamainya Toothless, dan dari hubungan inilah semua petualangan berawal. Interaksi antara Hiccup dan Toothless menjadi pusat emosi film ini, menggambarkan transformasi dari rasa takut menjadi kasih sayang, dari konflik menjadi kerja sama.

Melalui proses yang lambat tapi intens, Hiccup menyadari bahwa naga tidak seburuk yang dikatakan orang. Sebaliknya, mereka hanya makhluk yang mencoba bertahan hidup—persis seperti manusia. Persahabatannya dengan Toothless bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi juga mengubah cara pandang seluruh desa terhadap dunia naga.

BACA JUGA:Rencana Besar TNI AD Rekrut 24 Ribu Prajurit untuk Batalyon Pembangunan: Inovasi atau Ancaman Demokrasi?

Salah satu tantangan utama remake ini adalah menciptakan naga yang terasa nyata tapi tetap mempertahankan karakteristik unik mereka dari versi animasi. Hasilnya luar biasa. Toothless dalam versi live-action tidak kehilangan ekspresi lucunya, keganasan saat marah, dan tentu saja—keimutan saat ia bermain dengan Hiccup.

Efek visual dalam film ini terasa imersif, membawa penonton terbang bersama naga melewati awan, lembah, dan lautan. Sirip prostetik buatan Hiccup yang membantu Toothless kembali terbang digambarkan dengan detail teknis dan emosional yang mendalam, menambah lapisan makna dari hubungan mereka: saling percaya dan saling membantu.

Meski digarap dengan teknologi terkini, film ini tidak kehilangan sentuhan manusianya. Setiap karakter, dari Astrid hingga Fishlegs, ditampilkan dengan penuh kepribadian dan kelembutan. Bahkan Stoick yang keras kepala pun diperlihatkan dengan sisi rapuh sebagai seorang ayah.

BACA JUGA:Laptop Korupsi Era Nadiem! Polemik Chromebook, Rekomendasi Jaksa, dan Misteri Pembelokan Teknis

Satu hal yang membuat remake ini terasa istimewa adalah kehadiran Dean DeBlois sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Ia bukan orang baru dalam dunia How to Train Your Dragon. Sebagai arsitek cerita sejak versi animasi pertama, DeBlois tahu benar bagaimana membangun dunia Berk, menyusun narasi penuh makna, dan menjalin emosi antar karakter.

Alih-alih mengejar tren modern atau twist tak perlu, DeBlois memilih untuk menghormati kisah orisinal. Bahkan, beberapa adegan dibuat nyaris identik dengan versi animasi—sebuah langkah berani yang justru menjadi kekuatan film ini. Ia percaya bahwa kekuatan cerita terletak pada nilai universalnya: keberanian untuk berbeda, pentingnya empati, dan kekuatan persahabatan.

Sumber: