
Usia 19–34: Rp1,1 triliun
Usia 35–54: Rp936 miliar
Pinjaman macet (lebih dari 90 hari): Total Rp1,6 triliun
-
Usia 19–34: Rp815 miliar
-
Usia 35–54: Rp717 miliar
Yang mengejutkan, bahkan kelompok di bawah 19 tahun pun tercatat memiliki pinjaman macet senilai Rp3,6 miliar. Fakta ini menyiratkan betapa mudahnya akses pinjaman digital, bahkan bagi mereka yang tergolong sangat muda dan mungkin belum memiliki pendapatan tetap.
Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan mengapa anak muda mendominasi statistik pinjol:
-
Akses Mudah dan Cepat: Proses pengajuan pinjaman hanya butuh KTP dan ponsel. Tanpa agunan, tanpa survei rumah.
-
Minim Literasi Finansial: Banyak anak muda belum memahami bunga efektif, denda keterlambatan, atau risiko jangka panjang dari utang konsumtif.
-
Tekanan Sosial dan Konsumtif: Budaya "fomo" (fear of missing out), gaya hidup media sosial, dan keinginan tampil ‘mapan’ mendorong konsumsi melebihi kemampuan.
-
Kebutuhan Mendesak: Banyak pula yang menggunakan pinjol sebagai solusi jangka pendek saat menghadapi kondisi darurat seperti biaya kesehatan, pendidikan, atau kehilangan pekerjaan.
Kenaikan pinjaman online, terutama jika tidak dibarengi dengan kemampuan bayar yang baik, bisa memicu risiko kredit bermasalah secara sistemik. Fintech lending yang berbasis digital sangat bergantung pada data dan algoritma, namun tanpa pengawasan langsung terhadap kondisi peminjam, risiko gagal bayar bisa melebar cepat.
BACA JUGA:Bye-bye Kelas BPJS, Ini 12 Standar KRIS yang Bikin Ruang Rawat Semua Pasien Setara!
Apalagi, jika pinjaman bermasalah ini terus menumpuk dan tidak dikelola dengan bijak oleh platform penyedia layanan, maka risiko reputasi dan keberlanjutan fintech itu sendiri bisa terancam.
Menghadapi lonjakan pinjaman digital ini, langkah pencegahan perlu diperkuat dari dua sisi: