Membumikan Nilai ‘KARTINI’, Menterjemahkan Tafsir 'EMANSIPASI'

Membumikan Nilai ‘KARTINI’, Menterjemahkan Tafsir 'EMANSIPASI'

April, selalu menjadi bulan yang penting dan diperingati setiap tanggal 21 sebagai Hari Kartini. Sejak usia SD, hari ini terasa begitu istimewa dan menjadi rasa penasaran waktu itu, mengapa harus Hari Kartini meskipun banyak pahlawan perempuan seperti Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu dan lainnya. Di momen April juga menjadi catatan penting sebelum Hari Kartini datang diperingati. Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 12 April 2022 lalu. Tentunya ini adalah kado istimewa yang nantinya menjadi kebijakan negara melindungi perempuan dan anak dari segala tindak pidana kekerasan seksual yang masih menghantui negeri ini. Dengan terbitnya UU ini, juga menggambarkan perlakuan kesetaraan dan penghormatan perempuan sebagai warga negara untuk mendapatkanhak perlindungan yang sama.
Kartini, tokoh pahlawan nasional yang selalu diperingati hari sejarahnya di sepanjang tahun di bulan April juga. Ada banyak cara memperingati perjuangan Kartini yang lahir di Jawa Tengah pada 21 April 1879 silam, mulai dari pawai menggunakan kostum budaya Jawa, perlombaan menulis, memasak hingga berbagai keterampilan lainnya yang mendorong perempuan. Tak cukup di sana, bahkan peringatannya kini juga mulai melebar diberbagai kalangan dimana perempuan berperan di tempat kerjanya, mulai dari sector perkebunan & pertanian, geothermal, pemerintahan hingga kehutanan. Kita lihat misalnya, saat ini banyak perempuan hadir dan duduk memperjuangkan negara, ada Menlu Indonesia Retno Marsudi, ada Menkeu ibu Sri Mulyani, ada Ibu Siti Nurbaya yang juga duduk di sector kehutanan Indonesia sebagai Menteri Kehutanan. Di legislative juga mulai banyak tokoh perempuan dari berbagai partai politik juga hadir menyuarakan berbagai persoalan bangsa.
Kartini, begitu penting sehingga menjadi obor penyemangat melalui lembar demi lembar surat yang dikirimkan kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar. Dorongan untuk mendapatkan haknya bersekolah membuat Kartini muda mencatatnya dalam sejarah panjang, meski pada akhirnya harus menikah di usia yang sangat muda, 12 tahun dengan seorang Bupati Rembang Bernama K.RM. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang dipilihkan oleh orang tunya. Dalam beberapa lembaran suratnya, Kartini menggarisbawahi dua hal penting;
Pertama, Kartini berbicara soal ‘kesetaraan dan pentingnya pendidikan bagi perempuan, karena memahami betul peran perempuan dalam dimensi rumah tangga dan negara.
Kedua, berbicara soal kesalehan pribadi, dimana Kartini merupakan individu yang memperjuangkan etika kebaikan, kesalehan sebagai ‘hablum minannas’ yang mampu mengantarkan kepada Tuhan, dimana yang dinilai adalah perilaku. Dalam perspektif ini Kartini memperjuangkan keadilan bagi dirinya dan perempuan lain untuk mendapatkan rasa keadilan dalam praktik poligami yang dilakukan oleh suaminya. Dari sinilah kemudian, lahir berbagai perjuangan sekolah perempuan di pelosok negeri Indonesia, termasuk Sekolah Kartini pada 1913 yang pertamakalinya di Semarang.
“Agama itu maksudnya akan menurunkan rahmat kepada manusia, supaya ada penghubungkan silaturahim segala makhluk Allah. Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sangatnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai. Karena berlainan tempat menyeru Tuhan, Tuhan yang itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan. Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” tulis Kartini panjang lebar tentang pandangannya tentang agama.


Tafsir Emansipasi didalam Toleransi


Emansipasi dalam KBBI disebutkan dalam dua makna; 1) pembebasan dari perbudakan, 2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak antara laki-laki dan perempuan). Emansi secara terminology agama (Islam) juga disebutkan dalam al-Ahzab (33): 35 dimana selagi dalam ketaatan, kesabaran, kekhusyu’an, berpuasa, bersedekah dan memelihara kehormatannya disediakan pahala oleh Allah tanpa membedakan kelaminnya apakah dia sebagai laki-laki maupun perempuan. Tak hanya dalam al-Qur’an, dalam al-Kitab pun disebutkan secara spesifik bahwa Allah menciptakan perempuan dan laki-laki dengan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga keduanya saling melengkapi (Kej 2:18-24). Sejarah yang cukup jelas dalam al-Kitab juga menyebutkan beberapa nama besar perempuan seperti Debora yang juga menjadi pemimpin dan Ruth yang meminta Boas untuk mengepakkan sayapnya dimana secara tafsir berarti kasih perdamaian yang ia dapatkan dari Tuhan dan digunakan bersama.
Emansipasi dari sisi terminologi memiliki kata kunci yang sama dengan toleransi, dimana menempatkan perilaku untuk menghormati, menghargai yang menghadirkan perdamaian dan kebragaman dengan ‘ketersalingan’, tentu bagi laki-laki dan juga perempuan. Secara etimologi, tolerare, justru sangat mendalam memaknai dalam keartian ‘sabar’ dan ‘menahan diri’ dengan menghormati berbagai pandangan, kepercayaan antar sesama manusia sekalipun bertentangan dengan apa yang kita yakini dari sisi perspektif.
Dua tafsir ini tentu menjadi refleksi yang sangat penting ditengah situasi yang saat ini kita hadapi pada 21 April 2022, dimana bertepatan dengan Ramdhan yang menjadi bulan suci bagi umat Islam untuk senantiasa ‘menahan diri, bersabar, saling menjaga kehormatan dan menghormati’ tanpa menciderai makna akan kesalehan atas perilaku dan sikap sebagai manusia tanpa memandang jenis kelamin.
Hari Kartini, sekaligus menjadi momentum tafsir yang baru, setelah melewati perjalanan panjang dari Pandemi Covid 19, menuju recovery dan jati diri sebagai negara yang besar dan ‘agamis’ sebagai nilai dan amalan yang ‘ketersalingan’ bukan ‘kesombongan’ atas harga diri yang merasa paling ‘beragama’. Emansipasi menjadi kunci dan simbol dari perjuangan Kartini, atas bangunan relasi individu manusia yang ‘setara’ dan diperlakukan ‘adil’ sebagai makhluk sosial, sekaligus jembatan penghubung moral-etika-perilaku manusia yang kembali pada esensi sebagai makhluk Tuhan.
Pada akhirnya terjawab sudah, mengapa Kartini begitu penting diperingati perjuangannya dan menjadi hari khusus yang harus selalu dikenang sepanjang zaman. Apa dan bagaimana gagasan Kartini tersampaikan untuk difahami sebagai ruh yang mampu memotivasi sebuah nilai 'kesetaraan', tak hanya kepada sesama manusia tanpa memandang kelamin melainkan nilai dan jiwa kita manusia kepada Tuhan sengan mengedepankan etika, perilaku dan 'memanusiakan manusia' serta menempatkannya sesuai dengan martabat dan nilai ke-Indonesia-an.

Sumber: