Belajar Konservasi Bersama Mas Kelik dan Si Cantik Sulingan dari Desa Jatimulyo

Belajar Konservasi Bersama Mas Kelik dan Si Cantik Sulingan dari Desa Jatimulyo

Senin, tanggal 14 Februari 2022, adalah awal valentine pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta. Valentine biasa diartikan dengan hari kasih sayang, menyadur dari nama seorang tokoh St. Valentine yang konon semenjak tahun 1375, sepanjang 699 baris puisinya bertajuk ‘Parliament of Foules’ dibacakan. Sayangnya, sang seniman sosial ini kemudian harus mengalami kematian dengan cara pemenggalan pada 270 Masehi oleh Kaisar Claudius II Gothicus. Namun, nama St. Valentine hingga kini tetap abadi, diperingati oleh jutaan umat, lintas suku, ras, agama, mendunia bahkan berbagai profesi ikut merayakannya yang diabadikan sebagai moment hari penuh warna ‘pink’ dan juga ‘coklat’.

Berbeda denganku, kali ini mungkin sama seperti hari-hari biasa setalah 2 bulan mencoba mengenali area Yogyakarta. Setelah berfikir panjang dengan ajakan rekan kerjaku, aku bernisemangat berangkat bersama menuju ke sebuah tempat yang dia jamin aku akan merasakan ‘kasih sayang’ itu. Penasaran, tentu saja, karena ini pasti pasti akan menjadi eksplorasi yang menarik bagiku. Aku yakin akan banyak menambah catatan di buku pengetahuanku untuk menambah pembelajaran pada episode valentine kali ini.

Pukul 09.00 pagi aku bergegas, mengambil jaket, tas, sepatu dan tentu saja motor untuk segera menuju tempat kami janjian. Ya…sebuah halaman kantor Yayasan Satunama, dimana tempat mobil lapangan diparkir. Mobil Isuzu warna biru keluaran tahun 2000-an kali ini yang menyertai perjalananku kali ini menuju desa Jatimulyo, kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang berbatasan dengan kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan aku begitu dibuat takjub dengan berbagai arsitektur alam, mulai dari bentuk jalan yang berkelok tajam pemandangan asri, kafe yang menjajakan ‘sawah view’ khas pedesaan, perkebunan tebu yang siap berbunga serentak setiap musim, perkebunan salak, berjajar rapi disepanjang jalan, sawah dengan warna hijau berpadu hutan desa artificial, hingga perbukitan nan elok dipandang yang dikenal dengan ‘Bukit Menoreh’ pada ketinggian 700 mdpl. Cukup besar dan luas karena desa ini, terdiri dari 12 padukuhan, memiliki luas 1.629 ha, berpenduduk sekitar ±9000 jiwa dan ±2500 KK (2021) dengan 34 macam budaya lokal yang masih terjaga keasliannya.

Selain keasrian alam, desa Jatimulyo juga memiliki sederet penghargaan, mulai dari keikutsertaan konservasi di tingkat nasional dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), desa wisata (juara 3 nasional pada 2019), desa budaya hingga sebagai duta digital oleh Kementrian Pendidikan Nasional pada 2022. Pak Kades Anom Sucondro mengungkapkan, desa ini lengkap dengan segala potensinya bahkan dengan kultur kearifan lokalnya, menyeimbangkan antara kebutuhan, keterikatan manusia dan alamnya. Pak Anom begitu semangat menjelaskan berbagai keinginan sebagai kepala desa untuk bisa membuat desa ini lebih maju, dengan mereformasi tata Kelola yang ramah lingkungan atau green governance melalui pengembangan eco-tourism yang kini mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar.

Mas Kelik dan Si Cantik ‘Sulingan’

Usai bertemu pak kades, aku mulai melanjutkan perjalan yang dipenuhi dengan berbagai topik diskusi ringan, tertawa dan saling memberikan argument dalam beberapa pembicaraan serius bila sudah terkait dengan implmentasi program konservasi dan ketahanan pangan yang selalu dianggap tak pernah berkawan, tentu saja bukan seperti halnya jodoh dihari kasih sayang. Setelah melalui 2 kelokan, perjalanan kami terhenti pada sebuah rumah sederhana, dengan bertuliskan plang ‘Perdes 08 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup’ yang terbuat dari kayu. Rumah ini berhiaskan berbagai tanaman dan pohon, kolam ikan, sederet stuf untuk peternakan madu ‘Klanceng’ hingga pemandangan indah gunung Kelir yang menjulang tinggi tepat berada di belakang bangunan rumah ini. Begitu masuk ke dalam, aku dibuat takjub dengan meja dan kursi panjang dari kayu yang berjajar rapi, berbagai media edukasi konservasi seperti 30 jenis kupu-kupu yang ada di area ini, 105 jenis burung endemic dan non endemic (migrasi) hingga aroma kopi Bukit Menoreh yang khas dengan seduhan madu Klanceng asli.

Setelah puas aku berkeliling di sekitar rumah yang ternyata sebuah kafe sederhana, muncul seorang laki-laki berperawakan sedang, sederhana penampilan dan bersahaja menyambut kedatangan kami. Setelah mengambil tempat duduk yang strategis, dia mulai mengajak kami berkenalan, yang belakangan dikenal dengan sebutan Mas Kelik. Mas Kelik, merupakan penduduk desa Jatimulyo yang memiliki inisiatif bersama kepala desa dan pemerintah desa lainnya untuk kemudian membangun kesadaran masayarakat. Sejak 2013, upaya mengajak masyarakat lebih peduli dengan lingkungan, pohon, air, dan juga menjaga ekosistem membuahkan hasil. Hal ini ditandai dengan terbitnya pertamakali secara nasional Perdes No.08 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Cukup lengkap, dalam Perdes ini dimuat berbagai klausul tentang tata cara perizinan penebangan pohon, hingga bagaimana mekanisme tanaman pengganti, larangan perburuan, penangkapan ikan, dan tentu saja melestarikan satwa.

Menurut Mas Kelik dengan kesadaran itu, kini pelan-pelan masyarakat menyadari bahwa potensi des aini besar untuk wisata alam, dimana ada 12 destinasi yang sangat layak untuk dikunjungi, Kedung Pedut, sungai Mudal, hingga wisata pengamatan burung langka yang menurut Mas Kelik, Jatimulyo adalah paling lengkap dan layak disebut miniature of the bird’s universe. Bagaimana tidak, sejak ditetapkan sebagai area konservasi burung dan dikawal oleh Kelompok Tani ‘Wana Paksi’ bersama 40 orang relawannya, terdapat burung yang bahkan bermigrasi dari Siberia yakni burung ‘Sikatan Sisi Gelap’ (Muscicapa Sibirica)’. Sangat logis, apalagi saat aku duduk di sana, terdapat 4 jenis burung yang hinggap, mampir sejenak pada dahan pohon di sekitar kami, termasuk burung ‘Prenjak Alas’ dengan warna khas kuning keemasan yang indah.

Salah satu jenis burung yang menjadi maskot desa ini adalah Sulingan atau Tledekan dengan warna biru-orange dan kicauan merdu, unik dan istimewa. Burung ini menjadi semakin langka tatkala perburuan liar masih terus berlangsung. Mas Kelik mengisahkan, tak hanya pemburu dari dalam desa yang belum mengenal pentingnya nilai konservasi namun juga pemburu dari luar, meskipun agkanya diperkirakan turun 85% sejak dibukanya bird watching tourism pada tahun 2019. Sehingga Sulingan sangat sedikit dan turun jumlahnya, bahkan per 5 telur yang bisa menetas dan lahir anakan hanya 2.

Upaya Mas Kelik dan kelompok Wana Paksi saat ini sedikit membuahkan hasil dengan dukungan masyarakat pemilik pohon yang menjadi rumah bagi burung, RT hingga masyarakat desa secara luas. Masyarakat yang bertani bisa sambil menjaga area konservasi burung dengan berbagai varian paket jenis burung yang singgah beserta pohonnya. Masyarakat umum yang dating juga bisa belajar melalui edu-tourism dengan adopsi ‘sarang burung’ untuk membantu dan mendukung pembumian konservasi di sini. Bayangkan, dengan kita ikut menjaga 2 kelahiran burung, kita membantu keberlanjutan ekosistem dan habitat didalamnya. Tanpa burung, mungkin wabah belalang dan hama yang menjadi pakannya akan menyerang kita, atau bisa jadi ular juga akan semakin berkembang lebih pesat dan menyerang pemukiman ketika habitat dan ekosistem ini rusak. Apalagi tercatat Indonesia memiliki 1.672 jenis burung dan 427 diantaranya adalah endemic. Belum lagi tercatat 22 jenis berstatus kritis (critically endangered), 34 genting (endangered), dan 38 rentan (vulnerable). Untuk itu, upaya adopsi ini disesuaikan dengan 3 kategori diatas mulai dari harga Rp.800.00,- hingga Rp.1.500.000,- per paket dan bagi adopter akan mendapatkan plang nama, laporan rutin, foto, video, e-certificate hingga laporan akhir tahun (annual report) setelah satu tahun mengadopsi.

Mas Kelik juga tak segan memberikan kampanye positif kepada berbagai generasi dengan berbagai makna dan cara menjelaskan sebuah konservasi dengan menyadarkan masyarakat. Mas Kelik berusaha membumikan, menjejakkan konservasi dengan bahasa lugas, seperti ‘njagani desa lewat Manuk, nyelametke Manuk nyegah balak’ atau seperti bahasa Pak Kades ‘notoprojo nganggo toto coro waskito lan njaganing lelaku ing bumi’. Hal ini menurutku menjadi bagian konservasi yang dalam Bahasa Arne Naess, memadukan antara filsafat dan ekologi pada 1973, atau meminjam istilah Prof. Ali Kodra menjadi ‘Ekosofi’ sebagai perpaduan antara dimensi spiritualitas manusia, kesadaran holistik akan keseimbangan alam. Artinya, ketika kita bicara pada tataran keberlanjutan ekonomi, maka etika lingkungan dalam penjagaan perilaku dan sikap kita sebagai manusia itu sendiri yang justru menentukan. Berbuat baik dengan diri, keluarga, masyarakat, alam dan seluruh isinya itu menjadi pilihan bahasa Mas Kelik yang selalu khas dengan guyonan dalam Bahasa Jawa ketika memberikan penjelasan nilai konservasi kepada kami.

Pukul 15.00 WIB dihari kasih sayang ini, obrolan kami berhenti pada titik dimana upaya konservasi harus tetap dijalankan, berproses dan jangan pernah berhenti. Mas Kelik masih punya harapan dan keinginan untuk menjadikan lahan-lahan yang terbuka atau gersang untuk ditanami berbagai pohon yang bermanfaat untuk pelestarian alam seperti pohon ficus atupun lainnya yang tentu saja membantu habitat burung dan ekosistem berjalan seimbang. Menjaga rumah yang sudah jadi tentu tantangannya lebih besar dibandingkan membangun dan mendirikannya. Catatan akhir yang Mas Kelik berikan kepadaku, tentu bukanlah akhir perjuangan. Namun kesungguhan dan memaknai konservasi dengan tulusnya hati menjadi kunci para ‘Paksikers’ ini berjuang hingga generasi yang akan menanti, bersama kenikmatan seruputan terkahir kopi Bukit Menoreh yang mewarnai upaya ekosofi ini.

 

 

Sumber: