Paradoks Undang-undang Cipta Kerja dan Dampaknya terhadap Bidang Agraria: Apakah Hukum Sudah Dipolitisasi?

Paradoks Undang-undang Cipta Kerja dan  Dampaknya terhadap Bidang Agraria: Apakah Hukum Sudah Dipolitisasi?

JEKTV.co.id - Sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan saja, menurut Friedman, suatu sistem hukum harus terdiri dari: struktur atau kelembagaan sebagai kerangka dasar dari sistem hukum itu sendiri, substansi hukum yang terdiri dari aturan-aturan yang bersifat materiil maupun formil, dan budaya hukum yakni nilai-nilai atau pandangan masyarakat termasuk perilaku aparat dalam sistem hukum itu sendiri. Sehingga, ketika berbicara mengenai sistem hukum, maka ada tiga komponen penting yang juga perlu dilihat, yaitu legal structure, legal substance, dan legal culture.  

Di Indonesia sendiri pembangunan sistem hukum yang dilakukan masih dominan secara substansi saja, namun terhadap struktur dan budaya masih kurang mendapatkan perhatian. Sistem hukum nasional Indonesia sendiri dinilai masih belum representatif.  Dikutip dari pendapat Prof. Susi Dwi Harijanti dalam Diskusi Akademik 80 Tahun Prof Bagir Manan: “Jalan Panjang Menuju Sistem Hukum Nasional”,  bahwa  Sistem Hukum Nasional bahkan cenderung semakin mengalami pelemahan, hal tersebut bukan tanpa alasan, kecenderungan melemahnya sistem hukum nasional akibat dari politik hukum temporer yang terlalu berat pada bidang politik dan ekonomi, serta kurang diperhatikannya prinsip negara hukum yang demokratis dalam pembentukan dan pelaksanaanya.

Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan,  bahwa Sistem hukum nasional harusnya dibangun berdasarkan satu kesatuan sistem hukum Indonesia dan pembentukannya harusnya dapat memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan undang-undang Dasar 1945, serta seharusnya tidak memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok tertentu berdasarkan suku, ras, atau agama, semua murni harus untuk kepentingan nasional. Praktik pembangunan hukum nasional harus dilakukan dalam susunan yang mendasar, sistematik dan integral semata-mata berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan sektoral dari waktu ke waktu.

Sungguh ironis, apabila suatu kaidah hukum dibuat untuk memberi jalan dan memuaskan kepentingan domestik maupun non-domestik pihak yang dominan atau pihak yang berpengaruh terhadap penyelenggaran negara dan pemerintahan. Kaidah hukum yang seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat serta untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, malah didisfungsikan oleh oknum-oknum yang mempolitisasikan hukum. Selain itu, betapa sangat disayangkan, bahwa terdapat banyak peraturan dan kebijakan yang dibentuk hanya menekankan pada aspek legitimasi dibandingkan kualitas atas dasar keberterimaan secara rasional.

Salah satu metode pembuatan regulasi dan kebijakan yang cukup kontroversial serta mengundang banyak polemik di masyarakat adalah Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Pada tanggal 2 November 2020 yang lalu Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja di tengah kondisi pandemi covid 19, hal tersebut tentunya menimbulkan berbagai polemik di tengah masyarakat. Banyak yang menilai bahwa pengesahan Undang-undang Cipta Kerja terkesan terburu-buru dan tidak transparan. Bahkan, ketika disahkan menjadi Undang-undang, sejumlah anggota DPR sendiri mengaku bahwa mereka tidak mendapatkan salinan RUU tersebut.

Terdapat banyak poin krusial yang mengundang kontroversi dan penolakan atas Undang-undang Cipta Kerja, namun dalam hal ini yang ingin disoroti  adalah mengenai pengaturan agraria. Banyak pihak, khususnya pihak dari bidang agraria beranggapan bahwa disahkannya Undang-undang Cipta Kerja  hanya akan menimbulkan problematika baru dalam bidang agraria.

Mengutip pendapat Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, bahwa substansi dari Undang-undang Cipta bertentangan dengan konstitusi dan mengobrak-abrik Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.  Ia mengungkapkan bahwa banyak sekali substansi Undang-undang pokok agraria yang hendak dirubah secara ‘sembunyi-sembunyi’, mengapa dikatakan ‘sembunyi-sembunyi’, karena di dalam naskah akademik maupun di dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja Sendiri tidak secara terbuka menyatakan bahwa Rancangan Undang-undang Cipta Kerja  hendak mengubah Undang-undang Pokok Agraria, namun dalih yang digunakan adalah menciptakan norma baru melalui Rancangan Undang-undang pertanahan, padahal sebenarnya banyak sekali substansi Undang-undang Pokok Agraria yang diubah melalui Undang-undang Cipta Kerja.

Kritik yang sama juga diutarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Maria SW Sumardjono. Maria mengkritisi substansi Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja pada bagian pertanahan yang ia nilai memiliki substansi paling aneh, pasalnya, tidak ada satupun Undang-undang di rumusan yang diubah atau disederhanakan. Undang-undang Cipta Kerja hanya copy paste dari Rancangan Undang-undang Pertanahan yang ditunda pembahasaanya karena isu-isu krusial, namun ironisnya, poin-poin yang bermasalah pada Rancangan Undang-undang Pertanahan tersebut dimasukan ke dalam Undang-undang Cipta Kerja. Selain itu ia juga mengkritisi landasan filosofi Omnibus Law Undang-udang Cipta Kerja. Ia mengungkapkan bahwa setiap Undang-undang memiliki filosofi dan kekhasannya masing-masing, sehingga apabila sebanyak 79 Undang-undang diubah dan dijadikan satu, maka hal tersebut membuat landasan filosofis menjadi tidak jelas.

Ada beberapa poin krusial dari Undang-undang Cipta Kerja yang menuai kontroversi dalam bidang agraria, seperti yang pertama adalah pembentukan badan khusus pengelolah tanah yakni Bank Tanah. Dibentuknya Bank Tanah yang diharapkan akan menjadi pengendali utama dalam pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia, namun Pembentukan Bank Tanah ini dikhawatirkan banyak pihak malah akan dikakses dan dimonopoli oleh korporasi atau “pihak-pihak” yang berkepentingan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Undang-undang Cipta Kerja menghidupkan kembali azas domein verklaring, meskipun memang tidak secara eksplisit, namun secara tidak langsung Undang-undang Cipta Kerja membuat Negara seolah-olah adalah pemilik tanah, dipersempit lagi, tanah adalah milik pemerintah, karena melihat spirit dan cara kerja Bank Tanah yang secara tidak langsung melegalkan praktik-praktik negaraisasi tanah.

Kemudian yang kedua adalah Hak Pengolaan. Hak Pengelolaan Lahan masuk secara kuat dalam Undang-undang Cipta Kerja. Kembali mengutip pendapat Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, bahwa Hak Pengelolaan dalam Undang-undang Cipta Kerja menyimpang dari hak menguasai negara yang sudah termaktub dalam Keputusan Mahkamah konstitusi pada tahun 2003, bahwa hak menguasai dari negara itu bukan berarti tanah dimiliki oleh negara, namun dalam Undang-undang Cipta Kerja seakan-akan pemerintah dapat memiliki Hak Pengelolaan. Hak Pengolaan Lahan seperti menjadi hak baru di dalam Undang-undang Cipta kerja.

Setelah itu yang ketiga adalah Undang-undang Cipta Kerja a mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan hidup, karena di dalamnya tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan. Padahal tendensi kemerosotan pengaturan dan penerapan asas pembangunan berkelanjutan terus terlihat dalam berbagai kebijakan pembangunan yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo. Terlebih setelah adanya hak istimewa terhadap Presiden, bahwa Presiden dapat menunjuk langsung suatu wilayah untuk menjadi Proyek Strategis Nasional tanpa izin dari Pemerintah Daerah. Seiring dengan itu, kerusakan lingkungan hidup menjadi semakin parah, namun sangat disayangkan Undang-undang Cipta Kerja mendegradasi izin lingkungan dengan tidak mewajibkan semua kegiatan berusaha mendapatkan izin, namun hanya sebatas memberikan Persetujuan Lingkungan sebagai syarat.

Poin keempat adalah Undang-undang Cipta kerja juga hendak memberikan hak istimewa kepada Warga Negara Asing memberikan status Hak Milik kepada Warga Negara Asing atas Satuan Rumah Susun, hal tersebut temaktub dalam Pasal 144 UU Cipta Kerja. Kemudian dalam Pasal 144 ayat 2 dan 3 menjelaskan bahwa hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan,  dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal sebelumnya,  Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia hanya memberikan Hak Pakai atas sarusun terhadap Warga Negara Asing.

 Betapa sungguh menyedihkan, apabila melihat terdapat banyak poin-poin dalam Undang-undang Cipta Kerja yang seolah-olah menjadikan tanah sebagai barang komoditas komersil, padahal sudah jelas dalam Undang-undang Pokok Agraria menjelaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial, sehingga tidak boleh untuk dikomersilkan. Selain itu, di tengah masyarakat sedang menggebu-gebu memperjuangkan reforma agraria, pemerintah bukan hadir menjawab permasalahan tersebut, sebaliknya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sedikit sekali pro terhadap rakyat, dan lebih parahnya mengesahkan kebijakan yang jelas-jelas kontoversial dan masih menjadi isu yang perlu dibahas lebih lanjut. Tidak heran muncul pertanyaan, apakah hukum sekarang sudah dipolitisasi? Kaidah hukum yang seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat, malah didisfungsikan untuk kepentingan-kepentingan para elite.  

 

Sumber: