Menjaga Asa Habitat Harimau Sumatra Di Selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Di Tengah Pandemi Covid 19

Menjaga Asa Habitat Harimau Sumatra Di Selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Di Tengah Pandemi Covid 19

JEKTV.CO.ID - Harimau Sumatra atau dikenal dengan nama latinnya Panthera Tigris Sumatrae merupakan predator soliter dan salah satu satwa dilindungi yang terancam punah (critical endangered) oleh IUCN. Terpantau hingga saat ini Harimau Sumatra yang masih berada di area habitatnya di pulau Sumatra hanya tersisa sekitar 69 individu (2020) baik yang berada di dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh (48 individu) maupun di luar area (diperkirakan 21 individu) seperti kawasan konservasi hingga berada di area perkebunan berbagai perusahaan yang ada di area selatan Bukit Tigapuluh dan menjadikannya area jelajahnya.

Pelibatan multipihak dalam melihat perkembangan juga menjadi penting, mulai dari sector swasta, masyarakat hingga pemerintah dalam upaya konservasi yang kemudian dapat memberikan ruang hidup bagi Harimau Sumatra secara jangka panjang dan menghindari kepunahan. Gangguan pada habitat harimau akibat deforestasi dan fragmentasi hutan secara berkelanjutan (Ramono & Santiapillai 1994; Kinnaird et al. 2003), perburuan liar untuk perdagangan (Plowden & Blowes 1997; Shepherd & Magnus 2004) dan perburuan akibat konflik harimau dan manusia (Nyhus & Tilson 2004) menyebabkan populasi harimau sumatera di alam menurun, sehingga penyebarannya semakin terisolasi pada hutan-hutan alam yang tersisa.

Peringatan Hari Konservasi Harimau Sedunia atau Global Tiger Day yang selalu diperingati pada tanggal 29 Juli, mengingatkan kita sebagai manusia yang bersentuhan dengan habitat ini untuk menjaga harmoni berdampingan dengan satwa. Secara bentang alam Bukit Tigapuluh, yang menjadi bagian dari area satwa ini tentu patut berbangga dan menjadikan moment ini sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian Harimau Sumatra.

Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) sebagai kawasan perlindungan yang berada di antara perbatasan Provinsi Jambi dan Riau ini memailiki luas ± 144.223 ha. Secara administratif, kawasan ini terletak di Provinsi Riau (Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir) dan Provinsi Jambi ( Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tebo ). TNBT merupakan salah satu rangkaian pegunungan dengan potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tinggi dan endemik serta merupakan habitat Harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae), tapir (Tapirus inducus), lutung (Presbytis melalopos), Cendawan Muka Rimau (Rafflesia hasseltii) dan berbagai jenis rotan disamping peranannya dalam kelestarian hidrologis DAS Kuantan Indragiri.

Sebagai area yang menjadi rumah satwa, khususnya Harimau, keberadaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh sangat penting termasuk ketersediaan penghidupan bagi satwa lainnya. Bahkan bukan hanya satwa melainkan juga sebagai wilayah jelajah bagi Sebagian Orang Rimba yang hingga hari ini masih melakukan tradisi ‘Melangun’ atau ‘Nomaden’. Selain Orang Rimba di sekitar Taman Nasional ini juga terdapat suku Talang Mamak yang jumlahnya mencapai 164 jiwa. Sebagai suku Melayu asli, tentunya banyak keistimewaan terutama dalam tradisi menjaga rimba, perilaku hidup dan penghidupan dan mendinamisasi hidup berdampingan dengan alam dan satwa sekaligus.

Adaptasi Masyarakat, Satwa dan Pandemi Covid 19

Pandemic Covid 19, telah berlangsung selama 2 tahun belakanga sejak 2019 lalu. Pandemi ini juga membuat kita melakukan berbagai perubahan dalam melakukan berbagai aktivitas keseharian. Bahkan semua dilakukan dengan cara Work From Home (WFH) di berbagai wilayah Indonesia termasuk di Sumatra. Tak hanya skema WFH, namun pemerintah juga menetapkan Pembatasan Sosial Bersakal Besar (PSBB) hingga yang terbaru adalah kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan berbagai level daerah. Hal ini dilakukan karena tingginya kematian akibat Pandemi Covid 19 sebesar 86. 835 jiwa pada tanggal 27 Juli 2021.

Beberapa penelitian diawal menyebut Kelelawar dipercaya sebagai hewan yang memunculkan virus tersebut. Namun beberapa temuan lain juga menunjukkan adanya Trenggiling yang diperdagangkan juga menjadi perantara penyebar Virus Sars Cov-19 ini. Hanya saja kantor Berita Xinhua, Tiongkok memperingatkan bahwa riset ini tidak sampai pada kesimpulan lebih mendalam. Akan tetapi satu hal yang pasti, satwa liar yang memang dikonsumsi sebagai sumber makanan atau obat mengandung risiko biologis yakni transmisi pathogen.

Sebagai kawasan yang rentan konflik antara satwa dan manusia dalam perebutan sumber daya, seringkali terjadi bentrok karena ketidakseimbangan ekosistem dan tak mencukupi lagi kebutuhan manusia akan ketersediaan sumber daya. Dalam rentang tahun 2020 (VoA Indonesia, 2020), tercatat rata-rata 5,3% Harimau mati karena perburuan liar, 2,6% mati akibat konflik dan 1 penduduk yang mati akibat memasuki home range sang pemburu ini, seperti kasus Darmawan (42) yang meninggal saat memasuki home range Harimau dengan niat mengambil kayu bakar di Indrigiri Hilir.

Berkaca dari peristiwa berbagai konflik yang muncul antara satwa dan manusia, maka penting bagi kita semua dalam kerangka peringatan Global Tiger Day pada 29 Juli 2021, adalah melakukan berbagai upaya konservasi dengan tantangan pandemic covid 19 yang merupakan dampak ketidakseimbangan ekologi dengan manusia, sehingga angka penekanan virus ini sangat sulit dicapai. Bahkan situasi di lapangan menunjukkan, masa inkubasi virus menjadi lebih cepat saat tutupan hutan semakin berkurang dibandingkan hutan masih luas tutupan hutannya.

Adaptasi perlu Kembali dilakukan sebagai bentuk harmoni ekologi dengan manusia, seperti optimalisasi lahan pertanian tanpa membakar lahan-hutan dalam perluasan lahan pertanian-perkebunan, mengamalkan Kembali ajaran nenek moyang yang merupakan kearifan lokal seperti melakukan pemanenan sumber daya hutan sesuai kebutuhan, memperhatikan ketersediaan bahan pangan agar sustainable, tidak mendukung perburuan dan perdagangan satwa liar. Memanfaatkan ketersediaan alam tanpa merusaknya juga menjadi salah satu hal yang harus diadaptasikan, menghindari home range Harimau, tidak menebang pohon, dan berbagi ruang kehidupan dan penghidupan satwa terutama Harimau adalah keniscayaan yang harus kita lakukan.

Langkah berikutnya tentu saja pertama, menggandeng seluruh stakeholder dari berbagai instansi pemerintah, pemegang izin, NGo, organisasi masyarakat untuk bersama melakukan sosialisasi dan edukasi terkait perlindungan satwa, khususnya Harimau Sumatra dan habitatnya. Kedua, mendorong masyarakat khususnya yang berada di area Selatan Bukit Tigapuluh lebih peka dan peduli terhadap lingkungan dan habitat satwa lia. Ketiga, mengingatkan pada seluruh elemen masyarakat baik teman, keluarga, tetangga, kerabat secara lebih luas tidak melakukan pelanggaran seperti berburu satwa yang dilindungi maupun menebang pohon sebagai tempat dan ruang hidup satwa, terutama Harimau Sumatra.

Sekali lagi, belajar beradaptasi di sini kita bisa melihat potensi berharga dari keutuhan dan harmonisasi alam dengan satwa adalah potensi nilai ekonomi tambahan melalui ecotourism dan pemanfaatan secara tidak langsung sebagai penyeimbang ekosistem, hutan lestari, memberikan kelimpahan keberadaan lahan subur pada pertanian, oksigen dan air yang melimpah dimana jika dihitung secara valuasi ekonomi tentu tak tak terhingga dan bisa diwariskan hingga anak cucu.

Disis lain, best management practices untuk pemegang izin yang juga berada pada bentang alam yang sama di area Selatan Bukit Tigapuluh juga menjadi penting dengan keberadaan 70% habitat Harimau Sumatra yang berada di luar kawasan konservasi (mediaindonesia.com., 2020). Tentunya distribusi dan areal jelajah Harimau Sumatra yang berada di area perizinan dapat diketahui, diberikan ruang penghidupan sehingga mampu berdampingan secara ekologi.

Sumber: