DISWAY: Empat Misi Terawan
Saya akhirnya menjadi tahu praktik DSA seperti apa. Sebelum di-DSA otak saya harus di MRI. Setelah DSA harus di MRI lagi.
Setelah selesai DSA diperlihatkanlah hasil foto MRI-nya. Diperbandingan. Sebelum dan sesudah DSA. Terlihat jelas: begitu banyak saluran darah kecil-kecil di seluruh otak yang semula buntu (blok hitam) menjadi terbuka (saluran putih).
Praktik DSA-nya pun ternyata tidak sakit. Memang sempat muncul sedikit was-was saat saya akan berbaring di atas meja operasi. Terutama ketika dokter sudah memegang pisau iris.
Yang harus diiris adalah selangkangan saya. Untuk memasukkan kateter menuju otak.
Sambil menyiapkan pisau, Terawan mendendangkan lagu 'di doa ibu ada namaku'. Suaranya merdu. Nadanya sempurna. Saya terbawa ke makna lagu itu. Tidak terasa pisau sudah selesai menyayat selangkangan saya.
Saya pun menulis artikel –tiga seri– untuk menceritakan semua proses DSA waktu itu.
Tahun berikutnya saya mengajak istri untuk menjalaninya. Sang istri punya syarat: harus bersama saya. Maka saya pun menjalani DSA kali kedua.
Pun sampai sekarang DSA terus dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Bahkan kian populer. Kian banyak yang melakukannya. Kian banyak juga rumah sakit yang ikut mempraktikkannya –termasuk di Surabaya dan Solo.
Terawan pun mendidik banyak dokter untuk punya keahlian di bidang itu. "Kira-kira 20 orang yang sudah saya didik bisa melakukan DSA. Termasuk yang kini bertugas di Solo itu," ujar Terawan.
Berapa orang yang sudah menjalani DSA?
“Sampai sekarang, di RSPAD saja, sudah lebih 40.000 orang," katanya.
Begitu banyaknya yang merasa mendapatkan manfaatnya. Saya pun tiba-tiba ingin agar istri saya menjalani DSA lagi. "Harus MRI dulu. Kalau tidak ada masalah tidak perlu DSA," jawabnya.
Awalnya memang kontroversi. Akhirnya begitu banyak yang memanfaatkannya.
Sebelum itu Terawan telah menjadi dokter spesialis radiologi. Pendidikan spesialis itu ia tempuh di Surabaya. "Istri yang minta saya memperdalam ilmu kedokteran di Airlangga," katanya.
Terawan tentu ingin mempertanggungjawabkan praktik DSA-nya secara ilmiah. Maka ia ambil S-3 –di Universitas Hasanuddin Makassar. Disertasi doktornya tentang DSA. Promotornya adalah Prof Irawan Yusuf. Guru Besar Unhas ini pernah menjabat dekan di sana. Prof Irawan meraih gelar doktor di Hiroshima University, Jepang.
Sumber: