Komunitas Sarjana Hukum Muslim Beber Alasan Gugat SKB Menteri Tito, Nadiem dan Yaqut

Komunitas Sarjana Hukum Muslim Beber Alasan Gugat SKB Menteri Tito, Nadiem dan Yaqut

JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) menyatakan bakal menggugat Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri yang dibuat Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Makarim dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. SKB Nomor 02/KB/2O2l, Nomor 025-199 TAHUN 2021 dan Nomor 219 TAHUN 2021 tersebut mengatur tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Sekolah Negeri di Indonesia. Ketua Eksekutif BPH KSHUMI Chandra Purna Irawan mengatakan gugatan uji materil tersebut akan dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA).

"Terkait rencana gugatan SKB 3 Menteri, kami akan gugat ke MA," ucap Chandra kepada JPNN.com, Minggu (7/2) malam. Terkait alasannya, Chandra pun membeberkan bahwa secara konsep (formil) SKB masuk kategori Keputusan (beschikking). Namun, katanya, secara meteril, materi SKB 3 Menteri muatannya lebih bersifat peraturan (regeling).

Dengan demikian, kata Chandra, SKB 3 Menteri itu masuk kategori regeling/peraturan. "SKB tiga menteri itu secara materi bersifat regeling yang memuat norma bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus, sehingga gugatan akan kami ajukan ke Mahkamah Agung," kata Chandra. Karena itu pihaknya dalam permohonan nanti akan meminta MA membatalkan SKB 3 Menteri tersebut.

"Gugatan tersebut bertujuan untuk meminta majelis majelis hakim membatalkan SKB tersebut," tegas pengacara yang juga ketua LBH Pelita Umat ini. Menurut Chandra, semestinya SKB 3 Menteri tersebut jangan melarang pihak sekolah untuk mewajibkan penggunaan seragam keagamaan bagi yang seagama. "Kenapa? Karena terdapat di daerah tertentu yang kebiasaan adatnya sangat erat dengan agama, seperti Sumatera Barat," sebut Chandra. SKB tersebut diketahui mengecualikan aturan tersebut untuk Provinsi Aceh.

Menurut Chandra, pengecualian itu karena Aceh merupakan daerah istimewa. Sementara untuk daerah lain, katanya, sekarang ada namanya otonomi daerah (Otda) yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah membuat pengaturan-peraturan untuk masyarakat di daerahnya. "Daerah kan sekarang ada otonomi, setiap daerah akan membuat regulasi sesuai kearifan lokal, dan kearifan lokal daerah tertentu ada yang sangat erat dengan agama," pungkas Chandra. Diketahui, SKB 3 menteri ini belakangan menuai pro dan kontra. Selain dari sejumlah politisi di DPR RI, aturan ini juga menarik perhatian pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.

"Terkait SKB tiga menteri, tampaknya ada beberapa persoalan," ucap Reza Indragiri, Sabtu (6/2). Salah satu poin yang disorot oleh konsultan di Lentera Anak Foundation ini dalam SKB 3 menteri itu adalah kalimat "Memberikan kebebasan...." sebagai tercantum dalam diktum kedua. Reza kemudian menyinggung soal Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menggunakan kata "kemerdekaan", bukan "kewajiban". Diksi tersebut memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Namun, lanjut Reza, secara semena-mena, kata "kemerdekaan" bisa ditafsirkan sebagai jaminan bahwa anak atau peserta didik juga bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri. "Termasuk, anak atau peserta didik, berkat kata "kemerdekaan", seakan bisa mengabaikan kewajiban mereka untuk berbusana tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka. Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab," tegas pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau itu.

Sumber: www.jpnn.com

Sumber: