Sepeda Rp 500 Juta

Sepeda Rp 500 Juta

Di masa pandemi ini, memang melonjak luar biasa. Secara global. Mayoritas, sebagai transportasi aktif atau alat olahraga dengan semakin meningkatnya kesadaran untuk hidup lebih aktif dan sehat.

Tentu saja, sesuatu yang melonjak dibarengi dengan "bumbu"-nya. Bagi sekelompok orang, kebutuhan untuk eksis dan jaga gengsi ikut mengiringi.

Ini tentu bukan hal baru. Sebelum ini, orang sudah seperti itu dalam banyak hobi lain. Misalnya mobil, pakaian, bahkan batu akik. Kebutuhan eksis di dunia sepeda juga sudah agak lama ada. Khususnya di dunia medsos. "Atlet medsos" sudah bukan hal baru. Demi eksistensi, rela pura-pura balapan dan mengedit fotonya, sehingga yang melebar jadi kelihatan singset.

Kebetulan, belakangan, "bumbu" ini jadi makin panas saja.

Keinginan tampil keren, kebutuhan eksis, tidak mau kalah gaya, membuat orang-orang yang niatnya bukan olahraga ikut memburu sepeda. Tanpa mereka, harga sudah naik karena demand bisa jauh melebihi supply. Berkat mereka, harga pun melambung memasuki ranah illogical buying.

Yang jual sepeda saja jadi mengejutkan. Toko sepatu jualan sepeda. Toko baju jualan sepeda. Toko tas jualan sepeda! Mumpung harga melambung.

Teman saya, Baron Martanegara, founder Brompton Owner Group Indonesia, sampai capai menjelaskan kalau harga sepedanya sebenarnya tidak semahal itu. Bahwa di Indonesia ini "harga gorengan"-nya luar biasa. "Yang di Inggris Rp 9 juta di sini bisa jadi Rp 40 juta," jelasnya dalam diskusi Tribun bersama saya.

Dan yang beli memang benar-benar bernafsu. Teman saya di Surabaya baru beli Brompton edisi khusus, seharga Rp 55 juta. Memang edisi terbatas, tapi harga ini sudah mahal karena pajak di Indonesia juga tinggi.

Baru tiga bulan memakai, ada yang menawarnya di atas Rp 90 juta. Ya dia lepas saja. Kapan lagi dapat untung sebanyak itu. Wong deposito aja gak sebanyak itu bunganya. Tidak lama kemudian, dia menyadari kalau sepeda itu lantas dijual lagi. Harganya naik lagi jadi Rp 125 juta!

Dia hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ngapain memaksakan segitu. Toh tidak lama lagi akan keluar lagi edisi bagus. Dan harganya akan kembali normal," ucapnya, logis.

Tentu saja, hak mereka untuk membeli sepeda semahal mungkin. Toh mereka mau, dan mereka mampu. Kita mengkritisi bisa saja, tapi jangan sampai menyenggol ranah iri dan dengki.

Daripada uangnya dipake aneh-aneh. Minimal sepeda mengajak mereka mau bergerak lebih banyak. Mungkin, karena pandemi, anggaran liburan mereka tidak terpakai. Jadi ya dihabiskan untuk sepeda.

Di sisi lain, saya juga gatal dan geli. Karena tiba-tiba banyak yang teriak pajak sepeda. Ini saya agak khawatir. Karena di negara kita ini memang ada kesenjangan sosial yang cukup lebar. Di situasi pandemi, dan sebenarnya resesi ini, memang rasanya kurang sopan membeli sepeda yang harganya terkesan illogical itu.

Tapi, sebagai kolektor sepeda, saya harus menjelaskan juga. Kalau sepeda bermerek di Indonesia lebih mahal salah satunya ya karena pajak itu. Harga aslinya di luar negeri, bahkan di negara-negara tetangga, tidak sampai segitu.

Di negara lain, sepeda dimasukkan kategori alat olahraga. Di Indonesia, kadang masih bisa kena pajak barang mewah. Adil? Tergantung sudut pandangnya. Menurut saya sih harus ditegaskan betul apa itu "barang mewah."

Sumber: