Obat Covid-19 Unair Meragukan
JAKARTA – Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengklaim telah menemukan obat COVID-19 pertama di dunia. Penelitian dan uji klinis obat tersebut telah dilakukan bersama TNI AD, BIN, dan Polri. Obat tersebut merupakan kombinasi dari tiga jenis obat yakni Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyline, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Pakar Epidemi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meragukan obat COVID-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair). Sebab menurutnya, laporan riset obat COVID-19 seharusnya dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19 pertama di dunia,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/8).
Menurutnya mekanisme yang dilakukan Unair tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada. Uji klinik pertama obat COVID-19 dan prosedur riset yang tak terbuka serta klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku.
“Itu sebabnya akan banyak akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” terangnya.
Dia menduga penelitian tim riset Unair tersbeut belum direview oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku. Sehingga laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.
Padahal, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,” jelasnya.
Dia mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinik. Semua harus mengedepankan aspek transparan.
Selama tahapan riset harus dipantau oleh tim “clinical monitoring” yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada “independent clinical monitor”, “Data Safety Monitorign Board” (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu ahli farmakologi, biostatistik dan ahli penyakit yang diteliti.
“Selain itu, harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” ungkap Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.
Dikatakannya tim clinical monitor dari BPOM dan kelompok independen yang mengevaluasi data uji klinik sehari-hari. Pihak clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.
Pandu menilai terdapat kesalahan prosedur yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa.
Pandu juga mengingatkan setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM.
Sumber: