Kejanggalan lainnya, ruang sidang juga dipindah-pindahkan secara sepihak, dan mobil tahanan sudah dipersiapkan dari awal sebelum sidang dimulai.
Atas penahanan Bahusni ini, Benni wijaya Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria menilai Kasus ini kembali menambah preseden buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang semakin tajam ke bawah.
BACA JUGA:92 Pejabat Eselon III dan IV di Pemerintahan Sungai Penuh Resmi Mengemban Tugas
“Bahusni bukanlah penjahat atau pelaku kriminal, ia adalah korban kriminalisasi PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) yang saat ini berkonflik dengan warga Desa Sumber Jaya. Perjuangan Bahusni bersama ratusan masyarakat Desa Sumber Jaya untuk memperjuangkan hak atas tanah harus berakhir di balik jeruji besi," ujarnya dalam siaran remi KPA.
Bahusni dan ratusan masyarakat Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, merupakan korban perampasan tanah yang dilakukan oleh Perusahaan sejak tahun 1998 silam.
Sejak saat itu hingga sekarang masyarakat terus mempertahankan tanahnya dari upaya perampasan yang dilakukan oleh perusahaan.
BACA JUGA:92 Pejabat Eselon III dan IV di Pemerintahan Sungai Penuh Resmi Mengemban Tugas
Yusnidar, anggota Perempuan Padek juga merasa penangkapan Bahusni terlalu dipaksakan untuk melemahkan perjuangan masyarkaat di Desa Sumber Jaya.
"Pengadilan itu harusnya jadi harapan terakhir dan keadilan. Pengadilan kok berat sebelah ke perusahaan. Padahal kalau penegak hukum dan pengadilan kumpulkan bukti-bukti hukum, sudah jelas tanah petani dan hak kami para petani. Ini tanah punya nenek moyang kami," tegasnya.
Menurut Nukila Evanty, penasehat hukum Pepa menyebut bahwa Pasal 107 huruf a, dan huruf d UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang menjadi dasar hukum putusan hakim tersebut adalah pasal-pasal sambungan dari UU Perkebunan yang lama (UU No 18 tahun 2004, pasal 21 dan pasal 47).
UU Perkebunan yang sebelumnya sudah bermasalah dan banyak diprotes petani dan masyarakat sipil tersebut berisi pasal yang mengatur mengenai penggunaan lahan secara tidak sah serta ketentuan mengenai sanksi pidananya.
Padahal pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No 55/PUU-VIII/2010.
"Apakah hakim-hakim yang terhormat di PT di Jambi sudah membaca putusan MK tersebut ? MK adalah the Guardian of the Constitution, kalau ada UU yang salah seperti UU Perkebunan ini, tidak sesuai dengan Konstitusi1945, seharusnya tak dipakai lagi sebagai landasan hukum bagi hakim di PT Jambi . Bagaimana kita dapat mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian petani ya kalau petani nya terus menerus dipidanakan?," katanya.
Menurut Nukila Evanty, seharusnya penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan dam peradilan memahami fungsi mencari keadilan bagi masyarakat yang jelas dirugikan dari jerat hukum, terhadap Bahusni dan petani-petani lainnya di Jambi.
“Kami dari masyarakat sipil juga dilemahkan kalau penegak hukum bersikap seperti itu. Preseden hukum seperti ini juga nggak elok ya karena disaat kita ingin membantu program untuk memperkuat program pemerintah ketahanan pangan, malah petani-petani yang ingin menjaga lingkungan yang sehat dan bersih malah ditangkapi," tambahnya.