JAMBI, JEKTVNEWS.COM - Kajian Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jambi (Walhi Jambi) dan Trend Asia menegaskan pentingnya pembatalan rencana pengembangan PLTU mulut tambang, khususnya PLTU Mulut Tambang 1 dan 2 di Jambi, yang dipandang berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat, Rabu (7/2).
Pengembangan batubara tidak diperlukan mengingat ketersediaan listrik jaringan Sumatera telah oversupply, dan pengembangan lebih jauh akan semakin mempersulit pengembangan energi terbarukan yang menjadi prioritas publik.
Apalagi, pembangkit-pembangkit yang sudah ada di Jambi juga sudah mendapat penolakan oleh publik terdampak.
Pada Maret 2014, PLN berniat membangun pembangkit listrik tenaga batubara berkapasitas 800 MW di Provinsi Jambi, yang diproyeksikan mulai beroperasi pada tahun 2019 dan 2020. Namun dalam Rencana
BACA JUGA:Pimpinan Ombudsman RI, Berikan Anugerah Opini Pengawasan Pelayanan Publik di Provinsi JambiJangka Panjang 2016-2025, besaran proyek diubah menjadi 2x600 MW. Selanjutnya, dalam Rencana
Jangka Panjang 2017-2026, proyek tersebut dibagi menjadi dua proyek yaitu PLTU MT Jambi-1 (2x300 MW) dan PLTU MT Jambi-2 (2x300 MW). Konsep PLTU mulut tambang didorong untuk memanfaatkan cadangan batubara berkalori rendah yang tersedia secara lokal.
“Semakin rendah kualitas batubara, semakin sedikit panas yang dihasilkan. Karena itu PLTU mulut tambang akan membutuhkan pasokan 1,5 hingga dua kali jumlah batubara dibanding PLTU non-mulut tambang. Hal ini yang membuat pengusaha tambang berbondong-bondong membidik PLTU MT. Padahal listrik sudah oversupply dan PLTU yang sudah ada menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengganggu warga. Siapa yang diuntungkan oleh pembangunan ini? Tentu sesungguhnya hanya pengusaha. Apapun jenisnya PLTU, semua berbahaya,” ujar Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia.
Provinsi Jambi yang tergabung dalam jaringan Sumatera saat ini sudah kelebihan pasokan (oversupply) hingga 34%. Angka ini dapat tumbuh menjadi 52.2% per 2025 dan bertahan di atas 39% per 2030 jika pembangunan-pembangunan PLTU diteruskan.
Kelebihan pasokan ini membuat PLN merugi dalam skema take-or-pay dan mempersulit energi terbarukan untuk masuk. Kondisi ini akan diperburuk oleh pembangunan pembangkit batubara seperti PLTU MT Jambi 1 dan 2.
Pembangunan PLTU MT juga akan menimbulkan ancaman bencana ekologis. Dari dokumen AMDAL, PLTU MT Jambi 1 akan membutuhkan air sebanyak 36.000 m³ yang akan diambil dari aliran sungai Desa Pemusiran .
Hal ini berpotensi menimbulkan krisis air pada masyarakat.
Sungai Sekamis, Sungai Selempado, dan berbagai sungai lain juga berpotensi tercemar akibat aktivitas pertambangan batubara dan pengoperasian PLTU. Polusi udara dari PLTU akan mengancam Desa Pemusiran dan Desa Lubuk Napal, yang sudah terganggu oleh debu pertambangan.
Dari segi pendanaan, PLTU MT Jambi 1 dan 2 juga tengah berada dalam ketidakpastian.
Seiring dengan komitmen mencegah perubahan iklim, investor kehilangan semakin kehilangan minat mendanai proyek kotor seperti energi batubara. China Huadian, misalnya, dikabarkan mundur dari pembangunan PLTU MT Jambi 2.
Sengkarut ketidakjelasan pendanaan ini membuat proyek ini mandek. Meski PLTU MT Jambi 1 dan 2 direncanakan beroperasi pada 2026 dan 2027, hingga kini konstruksi masih mangkrak.