TRICKLE DOWN EFFECT DAN INKLUSI PERTANIAN
Kebijakan Trickle Down Effect
Jawa dan Bali hingga 06 September 2021 mendatang diketahui masih menerapkan PPKM. PPKM merupakan salah satu kebijakan dengan pola kesejarahan teori ekonomi yang muncul saat pandemic covid 19 menyerang negeri ini, bahkan muncul dengan berbagai platform yang berbeda seperti PSBB. Salah satu yang menarik, bahkan muncul fenomena ‘masyarakat bantu masyarakat’ dan ‘pemerintah membantu pelaku usaha’ melalui skema kebijakan baru termasuk UU Minerba dan Omnibus Law. 'Bantuan' dalam bentuk insentif atau fasilitas lainnya juga dikucurkan demi menjaga stabilitas ekonomi. Meskipun mekanisme pembiayaannya harus lewat utang yang rasionya kini telah tembus di atas 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Trickle down effect itulah sebutannya, sebagai salah satu teori ekonomi pembangunan yang mendorong adanya pertumbuhan pada pengeluaran pemerintah, pemotongan pajak pendapatan, dan pajak pendapatan modal, mengurangi regulasi pemerintah yang tidak perlu serta memperketat pasokan uang guna menekan inflasi (Niskanen and Henderson, 1992). Hal ini diusung oleh pemerintah karena meyakini bahwa pasarlah yang paling mampu menentukan apa yang terbaik untuk mewujudkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap dapat menghalangi pertumbuhan ekonomi yang seimbang.
Teori pembangunan trickle-down economics bukan tanpa kekurangan (Bartlett, 2009; Buchanan, 1989; Persky et al., 2004; Seip and Harper, 2016). Kekurangannya terletak pada peluang investor untuk berinvestasi pada teknologi yang justru menekan penyerapan tenaga kerja padat karya dan peluang investor untuk berinvestasi keluar sehingga memicu pelarian modal (Cutler and Katz, 1991; Todaro and Smith, 2006).
Trickle-down economics mengandung makna bahwa pertumbuhan dengan sendirinya akan mengatasi kemiskinan yang ada dengan asumsi pertumbuhan akan mengundang surplus tenaga kerja (Arestis et al., 2007, 259). Itu yang diharapkan oleh pemerintah, hanya saja faktanya adalah pertumbuhan tidak selalu diikuti oleh penciptaan lapangan kerja. Dengan demikian Trickle-down economics tidak dapat berjalan apabila pertumbuhan berjalan sendiri sementara tidak dibarengi dengan penciptaan tenaga kerja.
Ini yang kemudian menjadi ‘domino effect’ ketika penerapan ini ‘menetes’ diberbagai area. Suntikan bantuan langsung dan bersifat instant berkali-kali kepada masyarakat tidak membuat mandiri ataupun sustainable, namun justru menciptakan ketergantungan dan harapan yang jauh dari kata ‘mandiri’ yang akhirnya memunuculkan ‘masyarakat bantu masyarakat’.
Tentu saja kebijakan ini tidak mudah, apalagi jika ‘menetas’ ke petani kentang yang hampir merata di seluruh Indonesia. Trickle down effect bagi pertanian masih belum menjadi nuansa ‘special policy’ namun, baru sebatas ‘cantolan’ pada kebijakan fiskal yang menjadi salah satu instrumen pertanian bersanding dengan Perpres No 114 Tahun 2020.
Bagaimana dengan Inklusi Pertanian di tengah Trickle Down Economics?
Sesuai amanat Perpres No 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), pemerintah berharap melalui amanat ini bisa tetap menstabilkan sector pertanian di tengah situasi pandemi covid 19, bahkan ditargetkan akan tercapai 90% di tahun 2024.
Berkaca pada struktur lapangan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 29,76 persen pekerja di sektor pertanian. Hanya saja, sektor pekerja di area ini masih didominasi oleh pekerja berusia 40-60 tahun. Hanya sekitar 8 persen yang merupakan petani muda (generasi millennial). Padahal jika dilihat dari struktur umur, penduduk Indonesia didominasi oleh generasi millennial (25,87 persen) dan generasi Z (27,94 persen). SNKI dilihat sebagai kebijakan yang ‘pro’ terhadap kebertahanan dan ketersediaan pangan sebagai salah satu instrument yang lahir dari model ‘trickle down effect’ yang kini sedang dipergunakan di Indonesia.
Terkait dengan pertanian kentang di Jawa Tengah dan Jambi, kebijakan ini tentu memiliki nilai penting, diantaranya: Pertama, akselerasi penyuntikan berbagai kebutuhan pengembangan pertanian melalui ‘financial services’ baik perbankan maupun penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR). Kedua, digitalisasi pertanian yang dimungkinkan membantu ‘market access’ dengan model supply chain management lebih baik. Ketiga, kolaborasi petani, pengumpul, Bumdes, pemerintah, akademisi dan pengusaha dalam bersinergi pada off farm system, termasuk quality control product, roles sharing & farm business coaching. Keempat, menempatkan perempuan & generasi millennial sebagai subyek inklusifitas pertanian.
Sumber: