TRICKLE DOWN EFFECT DAN INKLUSI PERTANIAN
JEKTV.CO.ID - Kentang, salah satu komoditi yang tak asing di Indonesia. Potensi ini bahkan telah digambarkan sebagai bisnis yang dinilai menguntungkan bagi masyarakat petani. Bagaimana tidak, seiring perkembangan pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa nilai ekspor Indonesia Januari 2021 mencapai US$ 15,30 miliar atau naik 12,24% jika dibandingkan Januari 2020. Dalam hal ini kentang mampu berproduksi mencapai 68,223 ton di tahun 2019, naik menjadi 20 ton per ha atau 4 kali lipat pada 2020 dan diperkirakan akan terus bertahan hingga tahun 2021 sesuai dengan kebutuhan pasar yang semakin meningkat.
Jawa Tengah merupakan provinsi yang paling besar sebagai penghasil kentang, yakni 16,452 ton di tahun yang sama, 2019. Adalah di kaki dataran tinggi Dieng, sebagai salah satu penghasil kentang yang tersohor. Sama halnya dengan Bandung Jawa Barat yang menghasilkan 11,540 ton pada 2019. Hanya saja, duka masih menyelimuti para petani kentang yang hingga kini kesulitan dan belum bisa tersenyum bahagia menikmati hasilnya.
Kentang yang menjadi sumber penghidupan ekonomi petani, diharapkan sustainable. Sama seperti harapan si kecil Arifin dan bapak ibunya. Bagi Arifin yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), bukanlah hal yang mudah, melihat profesi orang tuanya sebagai petani kentang, meski ia mendapatkan prestasi yang lumayan ‘wah’ menurut ukuran ‘wong ndeso’. Setiap pulang sekolah, seperti umumnya anak-anak di kaki dataran tinggi Dieng, kabupaten Temanggung, bertugas membantu bapak ibu mengurus kentang di ladang hingga sore hari. Tentu saja Arifin belum faham bagaimana memperlakukan tanaman ini dengan manajemen pengetahuan pertanian yang baik seperti pengalaman turun temurun dari kedua orang tuanya.
Mengaji malam, setelah waktu maghrib adalah saat yang ditunggu Arifin, bisa bergabung dengan teman-temannya, bermain selain di sekolah. Bercengkerama dan berceloteh tentang dunia anak, keinginan sekolah lebih tinggi, dan ingin seperti ‘Pak Jokowi’ tentunya yang saat ini menjadi penguasa di negeri ini. Tentu saja, ada ratusan anak di satu des aini yang memiliki keinginan yang sama seperti Arifin.
Usai mengaji, tradisi keluarga Arifin sangatlah sederhana, berkumpul di ruang tengah, berdekatan dengan area perapian dapur adalah tempat yang istimewa, meski hanya onggokan kayu bakar yang berserak berjajar tak beraturan, tidak seperti ‘fireplace’ yang hanya bisa dilihat dari televisi. Sambil makan, bersendagurau adalah saat yang tepat dalam mencari berbagai persoalan yang dihadapi. Tak ada gadget, apalagi HP Android yang dipegang oleh Arifin, keluarga maupun teman dan tetangganya. Hanya orang-orang tertentu di desa yang memilikinya, karena cost HP yang mahal untuk maintenance secara kontinyu.
Sebuah Harapan…
Panen kali ini, ibu Arifin masih mengeluh. Betapa tidak, setiap tahun turunnya produktivitas hingga gagal panen selalu terjadi. Ia tidak tahu, mengapa ini terus terjadi, entah karena curah hujan tinggi atau karena perubahan musim, atau mungkin karena memang pupuk kentang yang kurang. Sehingga semua ini menjadi bahan perbincangan diberbagai pojok warung desa hingga tempat arisan bahkan pasar.
Ibu Arifin pernah tanya sama sang bapak namun jawabannya sama, sama-sama tidak tahu dan bagaimana memecahkan persoalannya. Hanya bisa mengeluh bersama para petaani lain, yang sama-sama tidak memiliki pengetahuan memadai soal perubahan situasi yang menjadi bagian dari dampak iklim global. Ditambah dataran tinggi Dieng yang masih menyemburkan abu vulkanik dan kaldera yang menyebabkan turunnya kualitas & produktivitas kentang.
Harapan akan kemudahan petani menjual hasil panen dengan rantai pasar yang lebih terkelola memang belum bisa dirasakan. Apalagi ditengah situasi pandemi covid 19, jangankan peningkatan produktivitas, penjualan kentang terus turun harga, hingga 5000/Kg di tangan pengumpul. Bapak dan ibu Arifin tentu saja sangat sadar, hanya saja ia tak tahu bagaimana mengatasi ini tanpa ada penyuluhan dan edukasi, dimana tak hanya bicara soal kentang, namun juga pasarnya kentang.
Pada akhirnya, ditengah situasi sulit, Arifin, oleh bapak ibunya diputuskan untuk mengikuti pendidikan non formal pesantren karena keterbatasan biaya, dan tentu si kecil Arifin tak mengetahui ke depan apa yang akan ia lakukan dengan situasi pertanian yang sulit, ditambah kerusakan parah dengan adanya erosi, sedimentasi pada waduk dan sungai yang dapat meningkatkan resiko banjir dan pencemaran air pada sepanjang aliran Sungai Serayu yang menjadi naungan bagi ‘negeri di atas awan’ ini.
Bagaimana dengan Jambi?
Jambi merupakan salah satu wilayah yang juga menjadi penghasil kentang. Diperkenalkan pertamakali pada era 2000-an oleh Indofood di kabupaten Kerinci dan Merangin, kini mampu menghasilkan 5,998 ton pada 2019. Kentang menjadi salah satu komoditi utama, selain kopi, kayu manis dan pilo (ubi) yang diminati oleh masyarakat.
Penanaman yang mudah, perawatan intensif dilakukan, karena kentang mudah dijual dengan instant, baik di tengkulak desa maupun pengumpul yang datang dari luar kota. Jika anda dating dari luar kota, anda akan dengan mudah menemukan hamparan kentang di area Merangin, terutama di sekeliling desa Renah Alai, salah satu desa Marga Serampas yang tak jauh dari landskap Taman Nasional Kerinci seblat (TNKS).
Hanya saja, beberapa hal yang juga menjadi keluhan adalah, perolehan bibit kentang yang semakin sulit dan biaya operasional yang tinggi karena ketergantungan terhadap pupuk kimia, ditambah kondisi tanah yang terus mengalami penurunan kesuburan karena semakin tandus.
Mak Tyo, adalah salah satu perempuan yang intensif dalam bertani kentang bersama sang suami. Sambil menyalakan tungku dapur, dan menggoreng kentang sebagai lauk masak di pagi hari, ia menuturkan, betapa sulitnya sekarang meningkatkan kualitas kentang, hasil buahnya terus mengecil dan tak sebesar dahulu saat pertamakali menanam. Ia merasakan betul dampak pupuk kimia pada tanah, ketergantungan terhadap pestisida, hingga bibit kentang yang harus diambil dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang mensupport sekitar 25% dari kebutuhan.
“Dulu, subur kentang. Kini la abiah, ndak banyak lagi hasil. Itupun kecik-kecik buahnyo. Tanah tu kini keras, modal harus besak, kalua nak dapek hasil bagus” ujar mak Tyo mengakhiri cerita paginya, karena harus menyiapkan bekal untuk pergi ke ladang kentang miliknya ditengah terbitnya matahari pagi itu bersama sang suami.
Sumber: