Disway: Mas Parno

Disway: Mas Parno

Posisi lantai yang paling atas pun baru sejajar dengan jalan berliku di lereng gunung itu. Maka lantai teratas tersebut justru menjadi seperti lapangan kecil. Di samping sebagai atap. Luasnya kira-kira 8 x 12 meter.

Di pelataran itulah Mas Parno selalu menggelar wayang kulitnya.

Baru di bawah ''halaman'' itulah rumah bapak-ibunya. Yang untuk ke rumah itu harus menuruni perengan gunung. Lewat jalan yang berkelok.

Di bawah atap itulah tiang-tiang beton tinggi menyangga rumah itu. Tapi tiang-tiang beton itu tidak menonjol. Kalah dengan pohon-pohon tinggi di kebun sekelilingnya.

Saya tidak menyangka kampung Mas Parno seterpencil itu. Dulu, waktu saya berjanji suatu saat akan ke sana, saya pikir tidak sulit. Toh kampung kelahiran ayah saya juga di lereng utara Gunung Lawu. Sesekali saya masih ke kampung ayah saya itu: Gedangan, Jogorogo. Kapan-kapan sekalian mampir ke Poncol-nya Mas Parno.

Baru kemarin itu saya tahu bahwa Poncol masih satu jam bermobil dari kampung ayah saya. Dulu, saya pikir kampung ayah saya sudah yang paling terpencil. Yang untuk ke sana harus menyeberangi sungai. Dengan cara loncat-loncat batu di sela-sela aliran air. Waktu kecil saya suka BAB di sungai itu. Dengan cara jongkok. Kaki kiri dan kaki kanan bertumpu di batu yang berbeda. Lalu mencucinya dengan air yang mengalir deras di sela batu itu.

Ternyata kampung Mas Parno lebih terpencil lagi. Sudah dekat dengan perbatasan kabupaten Karanganyar, Jateng. "Di balik bukit itu sudah Karanganyar," ujar sepupu Mas Parno sambil menuding salah satu bukit di sebelah barat kuburan.

Saya memang ke kuburan itu. Melihat lubang yang akan dipakai menyemayamkan mayat Mas Parno. Yakni di sebelah persis makam ibunya. Di bawah pohon rindang yang amat besar --yang tidak ada yang tahu sudah berapa ratus tahun umurnya.

"Kalau Pak Manteb ke sini, ya menerabas lewat bukit itu," ujarnya. Manteb Sudarsono adalah dalang kondang pujaan saya juga. Yang rumahnya di Karanganyar ternyata di balik bukit itu.

Bukan hanya Pak Manteb yang sudah ke Poncol-nya Mas Parno. Sudah puluhan dalang datang ke Poncol. Untuk tampil gantian, dan sesekali tampil bareng.

Pokoknya orang Poncol bangga banget pada Mas Parno. Ingin dalang siapa pun Mas Parno sanggup mendatangkan. Setiap saat selalu ada wayangan di situ.

Nama aslinya hanya satu kata: Suparno. Ia sempat menjadi wartawan Masa Kini di Jogja, sebelum bergabung dengan saya, menjadi wartawan di Jakarta. Ketika harus ke luar negeri, saya minta agar namanya ditambah satu kata lagi. Ia pilih menjadi Suparno Wonokromo.

Rasanya ada beberapa wartawan bernama satu kata yang saya minta dijadikan dua kata. Agar kalau ke luar negeri tidak ada masalah. Wartawan Don Kardono itu, aslinya bernama hanya Kardono.

Saya punya dua anak buah yang sama-sama wartawan hebat. Juga sama-sama dalang. Satunya lagi juga bernama satu kata: Margiono. Kini Dirut Rakyat Merdeka Group.

Mas Parno lebih sering mendalang daripada Margiono. Terutama karena Margiono lantas menjadi ketua umum PWI Pusat dua periode.

Sumber: