Rencana Besar TNI AD Rekrut 24 Ribu Prajurit untuk Batalyon Pembangunan: Inovasi atau Ancaman Demokrasi?

TNI AD--
BACA JUGA:Ledakan Pinjol di Kalangan Anak Muda: Rp75 Triliun Menggantung di Langit Utang Digital!
Dalam sistem demokrasi yang sehat, posisi TNI seharusnya berada di bawah kontrol sipil yang ketat. Namun ketika TNI diberi ruang untuk terlibat dalam kegiatan non-militer, seperti pembangunan ekonomi dan sosial, maka ada risiko menguatnya peran militer dalam ruang sipil. Hal inilah yang ditakutkan para pengkritik.
Tidak sedikit yang melihat bahwa kehadiran Batalyon Pembangunan justru akan membuat militer terlalu dalam masuk ke ranah sipil, yang pada akhirnya bisa menggerus peran pemerintah daerah, tenaga ahli sipil, dan organisasi masyarakat lokal.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan tak mungkin akan muncul “militerisasi pembangunan”, di mana militer bukan hanya menjaga kedaulatan, tapi juga mulai mengatur pola hidup masyarakat.
Melihat potensi penyimpangan yang besar, Koalisi Sipil mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk segera turun tangan. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan terhadap rencana rekrutmen besar-besaran ini, juga terhadap pembentukan Batalyon Pembangunan yang dinilai tak sesuai dengan mandat konstitusi.
“Kami mendesak agar rencana ini dihentikan atau minimal ditinjau ulang secara serius. Jangan sampai Indonesia kembali ke era di mana militer terlalu dominan dalam urusan sipil,” ujar mereka.
BACA JUGA:Kembangkan Potensi Desa, Kelompok Wanita Tani Ini Terus Berinovasi Berkat Pemberdayaan BRI
Tak bisa dipungkiri bahwa upaya TNI untuk mendekat ke masyarakat adalah bentuk dari niat baik. Namun dalam demokrasi, niat baik juga harus sejalan dengan koridor hukum dan konstitusi. TNI sebagai alat pertahanan negara tak bisa serta merta diberikan tugas di luar kapasitasnya tanpa evaluasi mendalam dan pengawasan ketat.
Kini, bola ada di tangan pemerintah dan parlemen. Apakah rekrutmen 24 ribu prajurit ini akan menjadi langkah progresif menuju militer yang adaptif, atau justru menjadi awal dari penyimpangan struktural yang membawa militer kembali ke ruang sipil secara masif?
Yang jelas, publik berhak tahu, berhak bersuara, dan berhak memastikan bahwa institusi pertahanan tak menjadi alat politik atau proyek pembangunan semata.
Sumber: