Skenario Malam Takbiran Akhiri Pelarian Djoko
Ia tiba pukul 22.40 WIB di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada saat bersamaan terdengar gemar takbir menyambut datangnya Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah.
Lalu bagaimana sebenarnya skandal awal dari peristiwa itu muncul? Dari beberapa data yang didapat, kasus ini bermula saat Djoko Tjandra membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan piutang Bank Bali pada tiga bank (Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Bira) senilai Rp3 triliun.
Namun yang bisa dicairkan oleh EGP, setelah diverifikasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hanya sebesar Rp904 miliar dari nilai transaksi Rp1,27 triliun (di BDNI).
Pencairan piutang sebesar Rp904 miliar itu, juga melibatkan BPPN yang meminta Bank Indonesia melakukan pembayaran dana itu.
Nah, kasus ini mencuat setelah muncul dugaan praktik suap dan korupsi dalam proses pencairan piutang tersebut. Pada saat itu, Pande Lubis adalah Wakil Ketua BPPN, Syahril Sabirin menjabat Gubernur Bank Indonesia, dan Djoko Tjandra adalah pemilik EGP.
Namun, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan membebaskan Djoko Tjandra pada 28 Agustus 2000. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan juga menyatakan uang sebesar Rp546,46 miliar dikembalikan kepada perusahaan milik Joko, PT EGP. Sedangkan uang sebesar Rp28,75 juta dikembalikan kepada Tjandra sebagai pribadi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Antasari Azhar sempat mengajukan kasasi, meskipun akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung. Tersangka kedua, Pande Lubis juga dibebaskan majelis hakim PN Jakarta Selatan pada 23 November 2000. Namun, pada tingkat kasasi, MA menganggap putusan itu salah dan mengganjar Pande empat tahun penjara. Sedangkan Syahril Sabirin dibebaskan.
Putusan MA tersebut tidak membahas soal uang senilai Rp546,46 miliar yang dijadikan barang bukti. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy mengatakan kejaksaan mendapat penawaran dari Djoko untuk mengembalikan uang Rp546,46 miliar tersebut, asal kejaksaan mencabut pengajuan PK kasus Bank Bali.
Namun, Jaksa Agung Hendarman Supandji tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jaksel, setelah putusan kasasi MA pada Juni 2001 yang memenangkan dan membebaskan Djoko dari dakwaan.
Di lain pihak, dalam persidangan kasus suap 660 ribu dolar AS terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, terungkap rekaman pembicaraan antara pengusaha Artalyta Suryani (Ayin) dan Kemas Yahya Rahman ketika masih menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Keduanya membicarakan tentang Joker, yang diduga adalah Djoko Tjandra yang sedang berperkara di Kejaksaan Agung.
KPK kemudian menyampaikan surat bernomor R1141/01/2008 tertanggal 24 April 2008 yang ditandatangani Wakil Ketua KPK saat itu Bibit Samad Riyanto untuk pencegahan Djoko Tjandra terkait penyidikan kasus jaksa Urip Tri Gunawan.
Namun tidak disebutkan status Djoko Tjandra, apakah sebagai saksi atau tersangka.
Dalam surat cekal bernomor 110/01/IV/2008 disebutkan Djoko Tjandra dicegah bepergian dalam kapasitas sebagai Direktur Utama PT Mulia Intan Lestari. Namun KPK kemudian mencabut status pencegahan, karena kurang alat bukti pada November 2008.
Polri berupaya memeriksa para pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan dan pencabutan status pencegahan terhadap pengusaha Djoko Tjandra. Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diperiksa selama delapan jam sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/9/2009).
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Kejaksaan Agung untuk Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin, sehingga keduanya masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp15 juta.
Dalam petikan putusan MA nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 untuk Djoko Tjandra disebutkan bahwa barang bukti berupa uang yang ada dalam rekening penampung atas nama rekening Bank Bali sejumlah Rp546,468 miliar, dirampas untuk dikembalikan ke negara.
Sumber: