Antisipasi Krisis Pangan, Impor Beras Terbuka Lebar

Antisipasi Krisis Pangan, Impor Beras Terbuka Lebar

JAKARTA – Mengantisipasi potensi krisis pangan dunia di tengah pandemi Covid-19, seperti yang diingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Perum Bulog akan memberi ruang impor beras demi memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso atau akrab disapa Buwas mengatakan, impor beras bukan opsi yang pertama. Ya, impor beras sebagai alternatif bila memang kebutuhan beras tidak mencukupi sebagaimana prediksi FAO terkait krisis pangan dunia.

“Memang sudah ada warning dari FAO. Iya, jujur saja saya sudah menghubungi beberapa negara yang tadinya mereka tidak akan ekspor berasnya ke negara lain, tapi sebenarnya kita bisa mendapatkan itu,” ujanrya saat raker bersama Komisi IV DPR, kemarin (25/6).

Diakui Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu saat ini Indonesia tidak membutuhkan tambahan pasokan beras. Pasalnya, hingga Juni 2020 Cadangan Beras Pemerintah (CBP) masih cukup banyak sekitar 1,4 juta ton.

Kendati beras dalam negeri mencukupi, namun Buwas meminta seluruh pihak terkait harus mengkaji kembali kecukupan beras nasional. Sebab jika salah data akan berakibat fatal bagi masyarakat. “Kembali persoalannya adalah pasti tidak digunakan? Ini hanya mengulang tahun lalu, di mana 2017 impor, 2018 tiba barang itu, sampai hari ini tersisa,” ucapnya.

Melansir data Badan Pusat Statisik (BPS), impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah itu meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017. Sehingga pemerintah tidak melakukan impor pada 2019. Adapun tercatat realisasi impor beras sebanyak 444,5 ribu ton pada tahun lalu.

Di sisi lain, lanjut Buwas, jika terjadi impor beras yang harus dipikirkan tempat penyimpanannya. Sebab saat ini tempat penyimpanan beras pelat merah itu tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung beras impor. Apalagi akan disimpan di mana ketika nanti menyerap beras petani nasional. “(Impor beras) akan menghambat penyerapan juga, karena kapasitas tidak cukup,” ungkapnya.

Mengenai dana penyerapan beras yang terbatas, maka perusahaan akan mengajukan kredit ke perbankan. Namun persoalan akan datang apabila beras tersebut tidak digunakan, tentu yang akan rugi Bulog yang harus membayar utang pokok dan bunga kreditnya. “Kalau kami penyerapan dengan dana komersial, itu bunga berat sekali,” tuturnya.

Terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna berpandangan operasi pasar yang dilakukan Perum Bulog sebelum Ramadan 2020 telah gagal. Sebab kemungkinan besar akan terjadi impor beras di tahun ini.

Adapun pada Ramadan 2020 kemarin, Perum Bulog menggelontorkan 500 ribu beras untuk operasi pasar. Hal ini untuk menjaga pasokan dan harga selama bulan suci tersebut. “Artinya intervensi pasar pemerintah sejak sebelum Ramadhan tidak berhasil. Untuk jangka pendek memang solusinya impor,” katanya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (26/6).

Kendati nantinya harus impor beras, Ariyo meminta Perum Bulog juga membenahi pasokan beras maupun harga beras di tingkat pasar. “Iya, pemerintah juga perlu mengoptimalkan masalah struktur pasar yang mengganggu produktivitas komoditas pertanian,” pungkasnya.(din/fin)

Sumber: