JEKTVNEWS.COM - Pada perdagangan Rabu, 9 Oktober 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah sebesar -0,74% atau turun 55,85 poin, sehingga berada di level 7.501. Meskipun IHSG mengalami penurunan, proyeksi untuk perdagangan hari Kamis (10/10/2024) memperkirakan adanya potensi penguatan dalam kisaran 7.450 hingga 7.560. Ratih Mustikoningsih, seorang Financial Expert dari Ajaib Sekuritas, menyebutkan dalam risetnya bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan IHSG antara lain datang dari dalam negeri, di mana indeks kembali terkoreksi namun tetap bertahan di area support 7.450. Pelemahan IHSG ini selaras dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang mengalami depresiasi dengan posisi JISDOR berada di Rp 15.607 per dolar AS pada 9 Oktober 2024.
BACA JUGA:IHSG Melemah 1,03% di Tengah Ketegangan Timur Tengah
"Tekanan terhadap IHSG turut dipicu oleh aksi ambil untung atau profit taking yang dilakukan oleh investor asing, terutama pada saham-saham kapitalisasi besar atau Big Caps. Pada perdagangan 9 Oktober 2024, tercatat adanya aliran dana keluar (outflow) dari pasar ekuitas sebesar Rp 2,53 triliun," ungkap Ratih dalam riset yang dirilis Kamis (10/10/2024). Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa penjualan ritel pada Agustus 2024 mengalami pertumbuhan 5,8% secara tahunan (yoy), setelah bulan sebelumnya tumbuh 4,5%. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi masyarakat terus mengalami peningkatan selama empat bulan berturut-turut.
Dari luar negeri, Wall Street ditutup menguat meski terbatas, menyusul publikasi risalah rapat FOMC oleh The Federal Reserve. Meski demikian, The Fed tidak memberikan sinyal jelas terkait kemungkinan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat. Pengambilan keputusan terkait suku bunga ini akan bergantung pada perkembangan ekonomi, termasuk data inflasi. Saat ini, para pelaku pasar cenderung menunggu data inflasi AS yang akan segera dirilis, sebagai gambaran mengenai kebijakan moneter di masa mendatang. Selain itu, pelaku pasar juga menantikan rilis laporan keuangan kuartal III-2024 yang dijadwalkan dalam waktu dekat. Sementara itu, dari kawasan Asia, fokus pasar tertuju pada rencana stimulus fiskal dari pemerintah Tiongkok setelah sebelumnya kebijakan stimulus moneter telah dilakukan pada September 2024. Rencananya, pertemuan untuk mengumumkan kebijakan stimulus fiskal akan dilangsungkan pada Sabtu minggu ini.
BACA JUGA:IHSG Melemah di Tengah Penguatan Bursa Asia: Apa yang Terjadi??
Beberapa saham yang di rekomendasi hari ini, ada Saham JPFA menunjukkan pola bullish reversal di atas Moving Average (MA) 5. Indikator MACD juga menunjukkan pelemahan yang terbatas, menandakan adanya momentum akumulasi. Kemudian, PWON berada dalam tren bullish utama di atas MA 100 dan berpotensi untuk mengalami reversal dari tren bearish pada skala minor. Indikator stochastic di area oversold mengindikasikan adanya peluang rebound. Per Juni 2024, PWON mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 12,58% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 3,26 triliun, meskipun laba bersihnya turun 22,97% yoy menjadi Rp 846,33 miliar akibat kenaikan beban termasuk kerugian kurs mata uang asing. Kebijakan perpanjangan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) hingga akhir tahun turut menjadi katalis positif untuk sektor properti.
Dan saham SCMA yang memiliki potensi bullish continuation dalam jangka pendek di atas MA 5 dan MA 20. Indikator MACD mulai menunjukkan sinyal positif, menandakan adanya momentum akumulasi. Emiten di sektor media seperti SCMA patut diperhatikan seiring dengan ekspansi ekonomi dan penurunan suku bunga. Belanja iklan yang meningkat diprediksi akan mendorong pendapatan segmen media, menjadikannya salah satu sumber pendapatan terbesar.
BACA JUGA:IHSG Berpotensi Uji Level Resistance 7.810 di Tengah Koreksi
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September 2024 berada di level 123,5, sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat di 124,4. Meski menurun, angka ini masih berada di atas level optimistis, mengindikasikan bahwa kepercayaan konsumen tetap cukup kuat. Namun, dengan adanya penurunan daya beli, sektor konsumsi primer cenderung lebih diunggulkan dibandingkan dengan segmen barang konsumsi non-primer atau discretionary.