DISWAY: Gang Besar

DISWAY: Gang Besar

Saya pun keliling kelenteng marga Chu. Di halaman depan masih terlihat tenda besar. Pertanda yang sembahyang Imlek tadi malam sangat banyak.

Di halaman baratnya ada "Rumah Nama". Di situlah nama-nama orang marga Chu ditulis di atas lempengan-lempengan marmer. Nama-nama itu adalah nama kakek-nenek mereka di zaman dulu. Juga nama-nama marga Chu zaman sekarang.

Di ruang nama itulah dipanjatkan doa oleh anak cucu mereka –sebelum nama si anak cucu sendiri pada gilirannya juga akan ditulis di situ.

Di halaman belakangnya ada tenda yang lebih besar lagi. Agak permanen. "Ini untuk pesta perkawinan. Bisa 5.000 orang," ujar pengurus di situ. Berarti bisa untuk 700 meja –satu meja 8 orang di kebiasaan di sini.

Di sini ternyata biasa pesta perkawinan diselenggarakan di halaman belakang kelenteng: di bawah tenda tanpa AC.

Di antara tempat pesta dan bangunan kelenteng itu ada gundukan tanah. Saya tahu maksud gundukan itu: agar seperti ada gunung di belakang bangunan induk kelenteng. Kawasan ini tanahnya datar. Kelenteng ini di tanah datar. Padahal bangunan kelenteng –juga rumah orang Tionghoa­– sebaiknya memenuhi prinsip ini: "bersandar ke gunung, memandang laut". Kokoh dan damai. Maka dibuatlah seolah kelenteng ini bersandar ke gunung.

Malam itu terlalu asyik di kelenteng marga Chu ini. Lain kali ingin ke kelenteng marga yang lain. Hari pun kian larut. Jadwal sepak bola terlewatkan. Besok paginya harus berangkat pagi-pagi ke Jambi –dengan mental baja: siap termehek-mehek 9 jam di jalan. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Sumber: