DISWAY: Gang Besar
Kami mengetuk-ketuk pintu pagar rumahnyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di situ. Kami tidak mau mendobraknya. Ini memang kunjungan spontan. Yang penting saya tahu sendiri rumah di jalan kampung itu. Saya bisa tahu bahwa rumah Ahong memang sesuai dengan yang digambarkan wartawan Sumeks yang diberikan ke saya waktu menulis sumbangan 2T itu.
Ternyata akurat: rumahnya ya seperti itu. Hanya sedikit lebih bagus dari yang saya bayangkan.
Mengapa sejak awal saya meragukan sumbangan 2T itu?
Saya tahu tradisi Tionghoa: urusan warisan bukan ditentukan oleh anak wanita seperti Ahong. Apalagi Akidi Tio punya anak sulung laki-laki (lao da, baca: lao ta). Mestinya, lao da itulah yang lebih tahu soal waris.
Si lao da tinggal di Jakarta. Ia punya putri yang ngetop: mejeng di dalam pesawat pribadi dengan jam tangan RM jenis yang sangat mahal. Foto itu pernah viral di medsos.
Tapi ya sudah. Saya tidak tahu seberapa baik hubungan antara lao da dan si Ahong. Atau seberapa buruk. Saya tinggalkan rumah Ahong.
Tinggal satu lagi yang masih bisa dikunjungi di hari Imlek seperti malam itu: Kelenteng. Saya pilih yang terdekat: Kelenteng marga Chu.
Inilah uniknya Palembang: semua marga Tionghoa punya kelentengnya sendiri-sendiri. Tidak ada daerah lain yang seperti itu. Umumnya kelenteng adalah oikumene: untuk siapa saja. Maka di Palembang sampai ada 76 kelenteng!
Mengapa di Palembang begitu banyak Tionghoa marga Chu? Tidak ada yang bisa menjawab. Marga Chu ini minoritas di banyak tempat. Harus ada penelitian untuk itu.
Apakah itu ada hubungannya dengan kedatangan orang Tionghoa ke Palembang yang jauh sebelum ada Indonesia. Bahkan sebelum ada nama Palembang.
Di gerbang kelenteng itu tertulis: ?? (ju gang, baca: ji kang). ? berarti "sangat besar". ?y berarti "Pelabuhan". Itulah nama Palembang di peta lama Tiongkok: Pelabuhan Sangat Besar.
Berarti sejak zaman kuno Palembang sudah terkenal sebagai pelabuhan yang sangat terkenal.
Karena itu penelitian tentang kedatangan Tionghoa ke Nusantara tentu tidak bisa mengabaikan Palembang. Apalagi setelah saya membaca novel karya Remy Sylado tentang Chenghe: armada Chenghe justru paling lama berlabuh di Ju Gang. Siang hari awak armada itu berdagang. Malam hari, sebagian berkesenian. Sebagian lagi melakukan operasi militer: menangkap ''penjahat-penjahat politik'' yang lari ke Ju Gang.
Para penjahat politik itu adalah mereka yang beroposisi ke kaisar. Mereka kalah, lalu lari ke selatan: ke Vietnam, ke Nusantara, terutama ke pelabuhan besar di sungai Musi yang tersembunyi itu.
Remy Sylado tentu belum diakui sebagai peneliti. Ia adalah seniman terkemuka. Terutama di seni musik dan teater. Tapi ia bertahun-tahun tenggelam di perpustakaan Belanda: soal asal usul orang Manado dan soal misi armada Chenghe. Menurut Remy, di balik misi dagang dan budaya Chenghe ternyata ada misi menangkap oposisi sampai di mana pun. Karena itu dalam novel Remy Sylado digambarkan ini: bagian bawah salah satu kapal di armada besar itu ada penjaranya. Mereka yang ditangkap selama ekspedisi dimasukkan penjara di bagian bawah kapal itu.
Sumber: