DISWAY: Laut Jaya

DISWAY: Laut Jaya

Saya pun minta maaf ketika tiba-tiba ada komentar yang menemukan kesalahan saya: wanita kan harus ditulis ”dia”, kok ditulis ”ia” –kata ganti yang mestinya untuk laki-laki.

Saya juga minta maaf kadang memilih terlalu banyak ”komentar terbaik”. Mengapa tidak satu saja. Itu sebenarnya rahasia. Tapi ya sudahlah, saya ungkapkan saja di sini: itu cara saya untuk memaksakan diri agar membaca semua komentar tanpa harus berpikir keras! Bayangkan kalau saya harus hanya memilih 1 komentar. Pusing. Kalau saya dipaksa seperti itu lebih baik diserahkan saja ke dewan komentar –suatu saat nanti.

Toh sebanyak apa pun yang terpilih tidak harus memberi hadiah –entah sampai kapan.

Misalnya di edisi kemarin (yang dimuat hari ini). Bagaimana bisa tidak memilih banyak. Baru mulai membaca komentar pertama sudah langsung ketemu yang bagus.

Tapi, please, info pabrik kontainer itu penting sekali. Itu akan menyadarkan pada kita soal tahapan industrialisasi di negara kita.

Kita, dulu, pernah hampir menjadi negara industri. Tahapan itu mandek ketika terjadi reformasi. Negara melemah. Rakyat menguat. Demo tak terkendali. Mogok buruh pun menakutkan –karena disertai sweeping dan perusakan. Pohon-pohon ikut ditebang. Perkebunan dijarah. Dan seterusnya.

Sejak itu terjadilah de-industrialisasi. Banyak pabrik ditutup. Impor barang jadi lebih mudah: tidak repot mengurus pabrik dan tenaga kerja.

Apakah de-industrialisasi itu sudah berhenti? Bahkan sudah mulai kembali proses industrialisasi?

Di bidang kontainer belum. Memang masih banyak ditemukan pabrik kontainer. Tapi hanya reparasi. Atau mengubah kontainer menjadi fungsi lain: kantor, basecamp, tempat tinggal sementara, dan menjadi gudang.

Krisis kontainer ini juga membuat kita menengok ke kemampuan angkutan laut internasional kita. “Saya berharap Indonesia punya pelayaran samudera. Agar ekspor kita lebih lancar,” ujar Jeffry Jocom yang punya pabrik kelapa 1 juta butir sehari itu (Disway 23 Agustus 2021: Krisis Tertinggi).

Di laut kita bisa jaya –suatu saat kelak.(Dahlan Iskan) 

Sumber: