DISWAY: VakNus Terakhir
Ketiga, keempat, dan kelima adalah untuk pemeriksaan. Di setiap kunjungan darah mereka diambil. Untuk dilihat: apakah VakNus tersebut berbahaya bagi mereka.
Sejauh ini tidak ada gejala klinis apa pun. Tidak satu pun dari mereka.
Padahal kami sudah siap menderita –sesuai dengan keterangan BPOM bahwa 70 persen relawan uji coba fase 1 mengalami masalah. Berarti setidaknya 10 dari 15 relawan kami akan mengalami masalah itu.
Ternyata tidak. AMITOHU!
Tiga kali pemeriksaan itu juga untuk melihat apakah tubuh mereka sudah memiliki kemampuan untuk melawan paparan Covid-19.
Kami belum tahu hasil penelitian itu. Kami sadar hasilnya kemungkinan bukan untuk kami. Tapi untuk kepentingan umum. Akan dipublikasikan di jurnal internasional.
Tentu hasil itu juga bukan untuk BPOM –badan yang mengeluarkan izin untuk obat dan makanan. Itu karena uji coba VakNus ini memang tidak diakui oleh BPOM. Bahkan tidak diizinkan untuk dilaksanakan.
Awalnya saya mengira hasil uji coba fase 1 dan 2 di Indonesia ini akan menjadi jurnal kedokteran pertama di tingkat internasional. Di bidang terapi vaksin sel dendritik.
Itu lantaran para penentang VakNus sering menjadikannya alasan: belum ada satu pun jurnal internasional yang membahas terapi dendritik.
Ternyata sudah ada. Belakangan ini. Dari Italia. Kita kecolongan satu langkah. Akibat terlalu lama usreg.
Nama jurnalnya: PubMed.gov. Nama penulisnya: Mona Kamal Saadeldin. Bersama dua dokter lagi dari Amal Kamal Abdel-Aziz (Milan, Italia) dan Ahmed Abdellatif (Kairo, Mesir).
Dari nama mereka kelihatannya itu peneliti keturunan Arab.
Baca jurnalnya di sini: Dendritic cell vaccine immunotherapy; the beginning of the end of cancer and COVID-19. A hypothesis.
"Jadi, sekarang sudah ada di jurnal. Dunia lagi ramai membahasnya," ujar Letjen TNI dokter Terawan Agus Putranto kemarin.
Dalam jurnal itu disebutkan, kata Terawan, bahwa penggunaan terapi vaksin sel dendritik adalah "awal dari berakhirnya pandemi Covid-19".
Sumber: