Mak Tantu dan Sepenggal Pengalaman ‘Menggambut’ dari Desa Pematang Rahim
Pagi itu, Mak Tantu bangun sangat pagi, pukul 04.00 WIB. Dengan cekatan ia mulai mengambil beras, mencuci dan memasaknya di atas bara api sudut dapur rumah panggungnya. Secepat mungkin ia memasak, karena masih ada pekerjaan lain sebelum ia meninggalkan rumahnya untuk berangkat ke kebun kelapa bersama suaminya. Sembari memasak, Mak Tantu mengambil beberapa helai pakaian kotor, mencucinya dengan menyaring air terlebih dahulu dengan alat tradisional buatannya, menggunakan pasir, sabut, kain penyaring pada ember dan dialirkan melalui pipa. Air merupakan hal utama bagi Mak Tantu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya akan air bersih, dimana sumber satu-satunya adalah air sumur bor gambut yang tak bisa dikonsumsi secara langsung.
Selain Mak Tantu, kegiatan masyarakat lainnya juga mulai berjalan seiring dengan tingginya matahari. Anak-anak berangkat ke sekolah, perempuan dengan membawa angkong, karung, parang panjang dan berbekal nasi secara individu ke kebun. Laki-laki memanggul semprotan, parang panjang, maupun cangkul dan ember dengan mengendarai motor juga beraktivitas di kebun sawit, kelapa maupun pinang. Mobil truk melaju melintasi desa memuat berbagai hasil panen, seperti sawit, kelapa serta pinang. Kehidupan di pelabuhan (yang dibuka sejak tahun 2004) juga mulai hidup sejak matahari terbit, hingga siang hari (pukul 13.00 WIB) dengan berbagai aktivitas bongkar muat penumpang, hingga barang. Sedangkan untuk bongkar muat hasil panen dilakukan di pelabuhan KM 1. Pekerjaan ini didominasi oleh laki-laki yang memiliki lahan terbatas, atau bahkan tak punya lahan, penyewa boat hingga pemilik boat.
Mak Tantu mengawali kisah kedatangannya di pematang Rahim bersama rombongan dari Sulawesi Selatan. Melewati perjalanan yang cukup panjang, dari sejak 1667, dimana para pendahulunya dipukul mundur oleh Belanda dan La Tenritta Arung Palakka dengan menandatangani perjanjian Bongaya, hingga terpencar di penjuru Indonesia dan Malaysia.
Melalui Kepulauan Riau dan Provinsi Riau, para pendahulu tersebut menuju Jambi yang saat itu masih terdiri dari hutan belantara. Jambi menjadi pilihan karena letaknya yang cukup strategis dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan dan Laut Pasifik (Pelras, The Bugis, 2006), serta mempunyai wilayah yang luas: 53.435, 72 km2. Para rombongan migrasi ini, kemudian menyebar hampir di seluruh kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu: Pangkal Duri, Mendahara, Dendang, Lambur Luar, Lambur Dalam, Kota Kandis, Kampung Laut, Simbur Naik, Teluk Kijang, Pemusiran, Sungai Raya, Nipah Panjang, Sungai Itik, Sungai Lokan, Sadu, Air Hitam Laut, Seponjen, Tangkit, Muara Sabak. Melalui pulau Kijang dan Mendahara sampailah 9 rombongan pertama yang menginjakkan kaki di desa pematang Rahim atau dikenal saat itu dengan Simpang Kiri.
Sebelum menjadi petani, Suami Mak Tantu adalah salah satu yang bekerja sebagai ‘pebalok’, sebutan profesi bagi laki-laki yang bekerja pada saat itu di tahun 1970-2000-an. Mak Tantu saat itu hanya sebagai pekerja di rumah dan membantu sang suami berjualan minyak serta makanan kecil. “Semua tanah di sini rawang, airnya setinggi lutut. Tak ada orang berkebun seperti sekarang” kenang Mak Tantu. Sayang, mata pencaharian yang sempat menjadi primadona ini tak berlangsung lama, karena kayu di hutan mulai habis. Para laki-laki yang dibebani tanggungjawab nafkah, terutama yang beridentitas Bugis Wajo, Pinrang dan Bone, mulai mencari akal untuk menyambung kehidupan mereka di wilayah Pematang Rahim. Rasa malu dan gengsi jika harus kembali ke tanah kelahiran membuat mereka belajar berbagai cara, bagaimana mengolah lahan ‘rawang’ ini agar bisa ditanami. Dan gayung pun bersambut, ketika salah satu perusahaan sawit yang cukup besar masuk di wilayah ini, mulailah para laki-laki belajar mengeringkan lahan ‘rawang’ dengan melakukan kanalisasi pada tahun 2003-an. Dan pasca itulah perempuan-perempuan Bugis ini mulai terlibat.
Saat membuka lahan, perempuan-perempuan ini tanpa mengenal lelah, membantu sang suami untuk mengumpulkan ranting pohon, dedaunan dan lainnya di tengah area lahan, dan menunggu pukul 15.00 atau 16.00 sore untuk dibakar. Bahkan ada juga yang menggunakan sistem jalur, dengan 3-4 jalur dan kemudian dibakar di bagian tengah jalur pada setiap jalur. Tak hanya itu, pun Mak Tantu sebagai perempuan Bugis Wajo, ia tak segan berhari-hari menginap di kebun untuk membantu suaminya, mulai dari saat pertama kali membuka lahan, menebas, membakar, menanam, merawat, panen, pasca panen sampai negosiasi harga. Soal penentuan ‘toke’ biasanya suaminya yang melakukannya.
Sayangnya, Mak Tantu hanya bisa menikmati proses produksi perkebunan ketika kebunnya masih ditanami komoditi kelapa. Tahun 2004, dimana komoditi sawit mulai dikenal di wilayah ini, perempuan-perempuan Bugis ini hanya sesekali saja ikut ke kebun bersama suaminya. Hanya proses awal dan perawatan yang mereka aktif. Ketika proses panen, pasca panen, toke bahkan negosiasi harga praktis menjadi peran laki-laki. Secara tidak langsung, proses ini bisa dibilang ‘menghilangkan’ peran perempuan dari sistem produksi pertanian. Tak hanya itu, banyak kemudian perempuan-perempuan yang beralih profesi sebagai buruh perusahaan, meskipun berupah rendah dan tak memiliki jaminan keamanan ketika melakukan penyemprotan pestisida pada sawit.
Potret masyarakat dalam kontribusi penciptaan ruang bagi lahan mereka yang justru semakin mendukung akumulasi modal bagi rantai produksi pasar perusahaan, sehingga membentuk perubahan tata guna lahan di wilayah mereka. Belum lagi adanya perubahan terkait konsesi agraria, meliputi ekstraksi sumber daya alam dan hutan, sumber tambang, serta konsesi perkebunan besar (Moeliono et al., 2009, Resosudarmo, et al. 2012), termasuk di desa Pematang Rahim, dimana luasan perkebunan sawit masih terus bertambah (4.775 ha-dari total luas 9.199,14 ha) berdekatan dengan berbagai perusahaan besar. Sungguh ironi, situasi yang justru semakin menyempitkan akses dan kontrol bagi perempuan-perempuan atas peran produksi pertanian dan keterikatan mereka dalam tradisi ‘mappataneng’ (tradisi bertani padi lokal) berganti menjadi tradisi ‘cerak parit’ (tradisi syukuran sebelum menanam tanaman perkebunan berdasarkan lajur-parit). Filosofi yang Adil dan Setara
Ada yang menarik, ketika Mak Tantu membukakan beberapa ‘Pasang’ (filosofi) masyarakat Bugis dalam kitab yang dipegangnya, Tuhfatun Nafs yang memuat berbagai tata aturan laki-laki dan perempuan Bugis. Menurutnya, kitab ini juga merupakan sari dari sastra besar yang ditulis oleh La Galigo (I La Galigo), dan selalu dibaca pada acara-acara besar di Sulawesi Selatan, tempat asalnya. Tertulis dengan jelas bagaimana Bugis Pinrang menganut pasang (filosofi) ‘appaulu’ (perempuan sebagai penjaga harta di rumah) karenanya anak perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam hak waris.
Filosofi lainnya adalah ‘jako parenta deppoki bahinennu, deppoa jinta nitukduppi nahajik’ (jangan istrimu diperintah seperti menginjak pematang sawah, karena pematang itu diinjak baru baik), burane mallempa, makkunrai majjujung, yang berarti pria memikul (2 bagian) perempuan menjunjung (1 bagian). Filosofi yang hampir menyamai dengan Bugis Makassar. Namun hal ini berbeda dengan ‘pasang’ untuk perempuan Wajo dan Bone, dimana dari peran rumah tangga hingga produksi lahan mengikuti ‘sipurepo’ (berbagi kesusahan).
Yang pasti falsafah ini memberikan arti yang begitu dalam bagi perempuan dan tentu berpengaruh pada tataran bagaimana mereka memaknai lahan produksi yang menjadi sumber atas pangan bagi keluarga. Bagi Mak Tantu, burane mallempa, makkunrai majjunjung tak dimaknai keadilan dalam jumlah bagian, namun kesejajaran dan bagaimana mengatur mekanisme kerjasama dalam berbagai peran.
Meskipun sejarah tak dapat lagi diulang dan kembali pada tumpuan tanah kelahiran, dimana padi lokal sebahai simbol kejayaan bagi ‘laki-laki dan perempuan’, bukan berarti perempuan Bugis kehilangan jati dirinya sebagai ‘perempuan petani’, tak hanya ‘bertani di wilayah domestik, namun juga bertani di wilayah reproduksi sosial dan produksi lahan’. Bertani dimaknai sebagai ‘kembali mempraktekkan warisan budaya, dengan turut bergerak, menjemput pengetahuan, informasi dan berbagai pelatihan tentang pentingnya tanah bagi keterkaitan manusia dengan alamnya’.
Mak Tantu merupakan satu diantara perempuan Bugis lainnya yang ada di Pematang Rahim, ingin mencoba ‘membisikkan’ bahwa perempuan harus mulai melangkah untuk melihat kembali ‘tanah’ yang diinjak bukanlah tanah pegunungan nan datar tempat dulu dilahirkan, namun tanah yang diinjak merupakan tanah yang rentan terhadap kekeringan dan banjir yang harus bisa ditekan elevasinya melalui peran perempuan, dengan mengembalikan kearifan dalam memperlakukan tanahnya. Suara Mak Tantu mungkin juga kecil diantara riuhnya perpolitikan dan gaduhnya lembaga desa, namun bukan berarti tak bermakna. Paling tidak Mak Tantu masih bisa berharap, tradisi ‘mappataneng’ secara maknawi tidak hilang begitu saja dengan hiruk pikuk kapitalis di tanah gambut, akan tetapi dengan lahan dan hutan gambut yang masih tersisa mampu membuka mata, bahwa ‘perempuan’ masih ada, tidak hanya sebagai pihak yang ‘berdampak langsung’ namun juga aktor yang sama bepegang pada norma dan tata guna lahan agar ke depan ‘mappadendang’ bisa kembali didendangkan oleh laki-laki dan perempuan di tanah gambut Pematang Rahim.
Sumber: