Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Efektif Tekan Impor Minyak Mentah
JEKTV.CO.ID-Pemerintah berkomitmen mendukung penuh pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Pengembangan BBN cair berbahan dasar minyak sawit ini memiliki manfaat besar dalam ketahanan energi nasional.
“Sebagai bagian dari ekosistem sawit nasional, kami mendukung pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) cair berbahan dasar sawit karena manfaatnya sangat banyak bagi masyarakat Indonesia,” ujar Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Edi Wibowo saat berbicara sebagai keynote speaker dalam Webminar ‘Strategi dan Peluang Mengelola BBN Berbasis Biohidrokarbon Untuk Kemaslahatan Bangsa’ di Jakarta, Rabu (14/10).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Parulian Tumanggor, yang turut berpartisipasi sebagai salah satu pembicara, menyatakan bahwa penggunaan biodiesel di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2006. Menurutnya, bio diesel kini jadi salah satu pilihan energi alternatif, karena Indonesia telah menjadi net importir minyak mentah, serta berlimpahnya produk kelapa sawit Indonesia.
“Kita harus bersyukur sebagai produsen CPO terbesar di dunia, karena tidak semua negara bisa menanam sawit,” ujar Tumanggor.
Pemanfaatan bio diesel, menurut Tumanggor, juga tidak lepas dari adanya tuntutan penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakatai dalam Protokol Kyoto. Di lain pihak, produksi sawit di Indonesia juga merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan ketahanan energi.
“Sawit bisa kita gunakan menjadi energi nasional, selain sangat efektif menuntaskan kemiskinan melalui sawit ini. Inilah alasan kuat mengapa biodiesel perlu diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya.
Untuk itu, Tumanggor menyampaikan penghargaan atas peran Presiden RI, Joko Widodo serta seluruh jajarannya atas komitmennya mencanangkan B30, B40, hingga B100.
Terkait kualitas biodiesel, Tumanggor mengatakan masyarakat atau pengguna tidak perlu khawatir. “Kualitas B30 sudah teruji dengan cukup baik,” tandas Tumanggor.
Dia menuturkan bahwa APROBI yang kini beranggotakan 19 perusahaansebagai produsen biofuel membeli CPO dari perusahaan dan petani untuk diproduksi menjadi FAME yang kemudian dicampurkan dengan solar. Produk akhir ini yang dikirimkan ke station-station yang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM dan PT Pertamina.
Tumanggor menyebut itu agar tidak ada kesimpangsiuran di tengah-tengah masyarakat seakan-akan produsen ini mengeruk uang yang begitu besar dari uang BPDP. “Sekali lagi, perusahaan ini hanya sebagai tukang jahit mendapatkan biaya proses produksi sekitar USD 90 per ton. Dan yang didapatkan oleh APROBI ini bukan dari APBN, tetapi dari BPDPKS yang dihimpun dari dana para eksportir sawit,” tegas Tumanggor.
Sumber: