Tes Swab Jangan Mahal
JAKARTA – Jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia, masih cukup tinggi. Hingga Selasa (18/8) kemarin, terdapat penambahan 1.673 kasus terkonfirmasi. Sehingga total menjadi 143.043 kasus. Sementara yang sembuh 96.306 orang. Sedangkan yang meninggal dunia 6.277 pasien. Terkait hal itu, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 akan membuat aturan harga tes usap (swab) di fasilitas kesehatan swasta agar tidak terlalu mahal.
“Kami akan melakukan pengaturan terhadap harga. Tujuannya agar tidak terlalu tinggi, yang membuat masyarakat keberatan untuk tes usap,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito di Jakarta, Selasa (18/8).
Pengaturan biaya tes usap yang menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) tersebut akan diterapkan di fasilitas kesehatan swasta. Tujuannya untuk mengakomodasi masyarakat yang ingin melakukan tes secara mandiri.
Wiku mengatakan pemerintah masih menggratiskan biaya tes usap pasien di fasilitas kesehatan rujukan pemerintah. “Pada prinsipnya, apabila untuk pasien dilakukan di faskes rujukan pemerintah, tes usap tersebut gratis. Demikian juga jika untuk contact tracing, tes usapnya jadi tanggungan pemerintah,” paparnya.
Sebelum rencana pengaturan tarif tes usap ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah mengatur tarif uji cepat (rapid test) antibodi, dengan penetapan batas tarif sebesar Rp150 ribu. Hal itu diatur dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020.
Dalam edaran itu dijelaskan pemerintah perlu menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan tes cepat. Karena tarif saat itu masih bervariasi. Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan pemberi layanan pemeriksaan tes cepat antibodi agar dapat memberikan jaminan bagi masyarakat. Sehingga lebih mudah untuk mendapatkan layanan pemeriksaan tersebut.
Dia juga menambahkan jumlah wilayah yang masuk zona merah telah menurun sepekan terakhir. Namun terdapat penambahan dari jumlah zona risiko rendah menjadi zona risiko sedang alias zona oranye.
Data per 16 Agustus 2020 jumlah daerah dengan risiko tinggi ada 29 kabupaten/kota atau menurun dari 47 kabupaten/kota di pekan sebelumnya. Kemudian wilayah yang berada di risiko sedang atau zona oranye ada 237 kabupaten/kota atau bertambah dibanding pekan sebelumnya.
Sementara pada risiko rendah atau zona kuning terdapat 174 kabupaten/kota. Kemudian, zona yang tidak ada kasus baru atau zona hijau menjadi 42 kabupaten/kota. Sedangkan wilayah yang tidak terdampak ada 32 kabupaten/kota.
“Perlu diperhatikan, daerah-daerah dengan risiko tinggi ada 18 kabupaten/kota yang berpindah pada pekan terakhir menjadi risiko sedang. Tapi di saat yang bersamaan ada daerah risiko rendah yang naik ke risiko sedang sebanyak 49 kabupaten/kota,” papar Wiku.
Dia menyebut zona risiko sedang terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Pada 12 – 19 Juli 2020, zona risiko sedang sebanyak 32,8 persen. Kemudian, naik ke 35,99 persen pada pekan 19 – 26 Juli 2020. Selanjutnya meningkat ke 43 persen pada 26 Juli – 2 Agustus 2020. Selanjutnya 43,19 persen pada 2 – 9 Agustus. Lalu, pada pekan 9 – 16 Agustus jumlahnya sebanyak 46,11 persen.
Peningkatan jumlah zona oranye ini harus diwaspadai. “Risiko tinggi zona merah menurun itu baik. Tetapi kalau daerah tidak terdampak ini juga menurun itu jadi tanda yang kurang baik. Terutama untuk daerah oranye perlu perhatian bersama,” ucap Wiku.
Dia juga menyoroti sejumlah kegiatan masyarakat yang menimbulkan kerumunan di tengah pandemi COVID-19. “Kami mohon agar seluruh anggota masyarakat dan pimpinan daerah untuk betul-betul dapat memperhatikan hal-hal ini untuk tidak terjadi di masa yang akan datang,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Konsursium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN, Ali Ghufron Mukti mengatakan klaim obat herbal atau imunomodulator yang dapat menyembuhkan COVID-19 tanpa melewati pengujian klinis secara tepat dapat menimbulkan penyebaran informasi yang salah. “Ini yang sering belum mendapat uji klinis, lalu mengklaim bisa khusus untuk imunomodulator COVID-19,” kata Ali Ghufron di Jakarta, Selasa (18/8).
Sumber: