Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Bui

Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Bui

Selanjutnya Jaksa Budhi Sarumpaet menjelaskan bahwa Lina Nurhasanah merupakan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015—2016, sedangkan Gatot S. Dewa Broto menjabat sebagai Sekretaris Menpora (Sesmenpora).

“Lina Nurhasanah menyampaikan kepada terdakwa dari temuan BPK tersebut sejumlah Rp6.948.435.682 dipergunakan untuk mendukung kegiatan operasional terdakwa selaku Menpora, yaitu sebesar Rp4.948.435.682 untuk tambahan operasional perjalanan dinas dan sejumlah Rp2 miliar untuk pembayaran keperluan rumah terdakwa yang diserahkan melalui Miftahul Ulum,” ungkapnya.

Namun, setelah menerima laporan dari Lina, Imam sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap adanya permintaan uang dari Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam yang menyebabkan adanya temuan BPK RI tersebut.

“Bahkan, terdakwa selaku Menpora cenderung acuh dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa. Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora RI agar memberitahukannya jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora,” kata Budhi.

Jaksa KPK juga mempertanyakan sikap Imam yang tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan terhadap Ulum sejak Imam mengetahui laporan tersebut.

“Miftahul Ulum baru diberhentikan selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya, yaitu pada tahun 2019 setelah dilakukan OTT oleh KPK,” ungkapnya.

Terhadap persoalan temuan BPK itu, menurut JPU KPK, Imam membenarkan adanya pertemuan dengan Gatot Dewa Broto.

“Yang pada pokoknya Gatot dan Lina Nurhasanah ingin melaporkan terkait dengan dengan temuan BPK tersebut. Namun, terdakwa dengan beralasan karena sudah malam maka tidak jadi dilakukan pembahasan tersebut,” kata jaksa Budhi.

Dalam persidangan, Ulum juga menyatakan bahwa selain adanya penerimaan uang gratifikasi tersebut, ternyata Ulum juga pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan pihak BPK Achsanul Qosasi.

“Terkait dengan keterangan tersebut, perlu kiranya untuk mendalami keterangan Miftahul Ulum lebih lanjut karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh penuntut umum. Namun, keterangan Ulum tersebut menambah keyakinan penuntut umum bahwa penerimaan uang tidak sah dari pihak lain untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora telah berulang kali terjadi di lingkungan Kemenpora,” kata jaksa.

Selanjutnya Budhi juga menjelaskan berdasarkan fakta persidangan pebulu tangkis Taufik Hidayat menjadi perantara penerimaan gratifikasi untuk Imam Nahrawi. Saat itu Taufik menjadi staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga.

“Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa pada bulan Januari 2017, Tommy Suhartono selaku Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA meminta uang sejumlah Rp1 miliar kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI untuk keperluan terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora yang diminta untuk diserahkan kepada Taufik Hidayat yang pada saat itu menjabat sebagai staf khusus Menpora,” kata Budhi.

“Atas permintaan tersebut selanjutnya Ucok mengambil uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari anggaran akomodasi atlet Program Satlak PRIMA. Selanjutnya, uang tersebut diserahkan kepada Taufik Hidayat melalui Reiki Mamesah di rumah Taufik Hidayat, Jalan Wijaya 3 No. 16 Kebayoran Baru,” lanjutnya.

Kemudian Tommy Suhartono menghubungi Taufik dan mengatakan bahwa akan ada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Imam yang akan mengambil uang titipan itu untuk keperluan Menpora. Ulum lalu datang ke rumah Taufik dan mengambil uang sejumlah Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Imam.

“Di dalam persidangan, Miftahul Ulum tidak mengakui pernah Rp1 miliar dari Taufik Hidayat. Namun, penuntut umum berpendapat hal tersebut hanya merupakan upaya dari Miftahul Ulum untuk menyembunyikan perbuatan terdakwa Imam,” kata jaksa menegaskan.

Sumber: