DISWAY: Purbo Asmoro

DISWAY: Purbo Asmoro

Di awal pandemi itu Ki Purbo kelihatan sedih sekali. Terutama ketika melihat begitu banyak yang ikut menggantungkan hidup padanya.

"Mengapa terjadi pandemi. Kapan pandemi berakhir". Pertanyaan itu mengusik batinnya. Maka kesenimanan Ki Purbo muncul. Ia ingin mendalang. Di rumahnya. Sendirian. Tanpa gamelan. Tanpa sinden. Tanpa siapa-siapa.

Betapa sepinya.

Betapa sunyinya.

Betapa mengiris-iris hatinya.

Malam itu Ki Purbo tetap mengenakan pakaian dalang. Lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Resmi sekali. Seperti layaknya akan pentas besar. Bahkan ia juga membawa sesajen. Dengan tokoh wayang Betari Durga yang dibungkus kain putih.

Ia sadar adegan sesaji itu bisa dikecam kalangan agamawan garis jingga. Maka ia jelaskan: sesajen itu bukan untuk dipersembahkan kepada setan. "Setan tidak makan buah-buahan," katanya.

Sesajen itu ia maksudkan sebagai rasa syukur. Bahwa di tengah pandemi ia masih hidup. Masih segar. Masih bisa mendalang.

Meski harus sendirian.

Mendalang itu harus mengerjakan banyak tugas: tangannya, kakinya, mulutnya dan bibirnya. Malam itu Ki Purbo masih menambah satu pekerjaan lagi untuk dirinya. Ia taruh alat musik 'gender' di depannya –instrumen yang juga sulit. Ia akan mendalang sambil menggender. Juga sambil menabuh gendang –suara gendang itu diwakili suara di mulutnya.

Kalau tidak ada pandemi tidak mungkin ada dalang melakukan itu. Saking inginnya tetap berkarya di masa pandemi Ki Purbo melakukan apa pun yang mungkin dilakukan.

Kehadiran gender itu ternyata sangat mewarnai. Tapi Ki Purbo harus membagi tangannya. Kapan menggerakkan wayang, kapan menabuh gender.

Saya begitu terharu melihatnya di YouTube.

Malam itu Ki Purbo memainkan lakon 'Sudomolo'. Hanya ada satu orang 'lain' di situ. Yakni anaknya nomor dua. Yang memegang kamera. Untuk live streaming.

Lakon 'Sudomolo' sendiri dipilih karena kontekstual: itu adalah doa dari Ki Purbo agar pandemi segera lenyap.

Sumber: