Perempuan, Penjaga Ekonomi & Budaya Bujang Raba Di Tengah Covid-19

Perempuan, Penjaga Ekonomi & Budaya Bujang Raba Di Tengah Covid-19

BUNGO - Masyarakat pedesaan pada umumnya adalah masyarakat yang menggunakan SDA, mengerjakan pertanian secara turun menurun karena berada pada wilayah agraris. Adanya SDA menjadi anugerah bagi masyarakat dimana pengelolaannya dipengaruhi oleh jumlah populasi dan pola konsumsi masyarakat terhadap SDA tersebut. Sehingga pengelolaan SDA secara lestari dan berkelanjutan menjadi penting, seperti yang dilakukan masyarakat Bujang Raba Batin 3 Ulu Kabupaten Bungo. 

Bujang Raba, salah satu model landskap yang menarik untuk dibahas. Keberadaanya hingga hari ini mampu memberikan manfaat nyata masyarakat, tak hanya laki-laki namun juga perempuan. Tata pembagian lahan sementara dapat dilihat untuk bagian perbukitan sampai pegunungan didominasi oleh tanaman perkebunan seperti karet, buah-buahan durian, kelengkeng local bedaro, duku, langsep, petai, jengkol, rebung, rotan, bambu, kabau, pelangas, kayu kempas, keranji, hingga tanaman obat seperti pasak bumi. Selain area perkebunan, wilayah ini juga memiliki area persawahan dengan hasil 6.886 ton/tahun padi sawah dan 560 ton/padi ladang.  Perkebunan dan persawahan ini menjadi lahan penyangga hutan melalui SK Menhut No.793/Menhut II/2009 pada 19 Oktober 2009 dengan luas 13.529, 40 Ha. 

Jika kita menginjakkan kaki di sana, kita akan disuguhi pemandangan pagi yang eksotis, suara gemericik air sungai dan tungku api yang sudah dinyalakan oleh para induk perempuan, dengan mengenakan kaos pendek, bersarung dan penutup kepala yang disematkan pada kedua telinga kiri-kanan dan ditalikan ke belakang. Sambil meniup tungku Mak Jamris terus bercerita tentang keseharian, bagimana ia menikmati masa kecil sebagai anak perempuan dusun yang bisa bermain permainan tradisional, pergi ke kebun, ikut menderes karet hingga membantu ibu dan nenek membereskan rumah dan bermain Bersama teman-teman perempuan di sungai yang jernih. Tak ketinggalan di teras rumah, pak Jamris sibuk dengan parang untuk membelah Durian yang sudah ia panen semalam dari kebun. Senda gurau Bahagia dan sederhana yang dirasakan setiap pagi menyapa. 

Perempuan Batin 3 Ulu, menurut Mak Jamris, tak terpisah dari adat Batin yang mendiami wilayah ini, dan berasal dari sebelah barat gunung Barisan Sumatera Barat dan Jambi. Perpaduan ini menciptakan budaya dan dialek yang dipengaruhi oleh Minangkabau dengan cara nomaden dan gotong rotong. Bahkan usia suku ini diperkirakan telah ada sekitar 300 tahun lalu yang dibuktikan dengan arsitektur rumah tua Batin Siregar, 2008. Secara garis keturunan, ahli waris ditarik dari pihak ibu matrilineal, begitu juga dalam kehidupan sehari-hari akan sangat mudah menjumpai suku ini yakni induk-induk, berada dalam satu keluarga inti yang disebut piak yang berasal dari nenek moyang yang sama dan dikelompokkan dalam beberapa suku dan dipimpin oleh Rio yang didampingi Ninik-Mamak.

Terkait pola pengelolaan SDA, perempuan Batin memang secara khusus tidak diatur dalam adat dalam mengambil peran produksi. Seperti di masyarakat adat yang lain, perempuan lebih ditempatkan pada wilayah domestic. Perempuan Batin bercocok tanam di kebun yang disebut dengan umo talang. Dahulu, umo talang dibuat di tengah hutan dengan ukuran rata-rata 2 ha dan jauh dari perkampungan dan biasanya di daerah sempadan sungai dan ditanami dengan karet, palawija bahkan sekarang kopi dan coklat dengan sistem agroforest. Akan tetapi umo ladang Ketika pertamakali dibuka wajib ditanami padi, setelah tak layak padi, baru digantikan dengan tanaman agroforest seperti karet, kopi dan buah-buahan durian, duku, nangka, jeruk dan lainnya. Pekerjaan ini dilakukan dengan cara berselang gotong-royong. Sedangkan laki-laki selain ber umo talang juga melakukan pekerjaan seperti Bertani, berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berdagang (hingga ke Riau, Jambi Kota, Sumatera Barat) guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Karet, menurut para perempuan yang dulu menjadi tumpuan ekonomi dan penyangga perkebunan kini dinilai tak bisa diharapkan. Hal ini disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi pemasaran karet, kualitas dan kuantitas bokar (karet kebun rakyat), harga karet fluktuatif, kesulitan dalam peremajaan karet dan pemeliharaan karet yang kini diakui berbeda dengan zaman dahulu. “Kini payah karet, amak tanam ndak untung jugo. Seketek dapeknyo. Jadi diyan tulah yang untung kini”, ungkap Mak Jamris. Karet, saat ini meski masih ditanam, namun secara posisi pertanian bukan lagi sebagai identitas pertanian masyarakat Batin, dan telah tergantikan dengan durian, kopi, coklat, kardamunggu dan tanaman agroforest lainnya.

Tak hanya soal tata letak area umo ladang, tata letak pemukiman suku Batin juga diatur. Pemilihan lokasi pemukiman harus menghadapi beberapa pantangan, seperti rumah tak boleh menghadap lereng bukit, karena mudah ditimpa musibah kematian, tidak boleh membangun rumah di hulu sungai, karena hulu sungai merupakan sumber air dan jalur penyakit endemic dan lainnya. Meski demikian, tradisi arsitektur rumah telah mengalami perubahan signifikan seiring dengan akses jalan, transportasi, komunikasi dan pasar. Perubahan ini terlihat dari bentuk bangunan rumah, mulai dari atap, dinding hingga lantai dan pembagian ruang. 

Tata ruang lain dari kearifan local adalah lubuk larangan. Lubuk larangan merupakan sungai yang dilindungi  dalam kerangka perlindungan terhadap ikan semah sebagai ikan endemic oleh masyararakat Batin. Lubuk larangan hanya akan dibuka setiap 4 tahun sekali dengan kesepakatan adat. Tak hanya ikan, lubuk ini juga dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, tempat berkumpul sambal membahas persoalan rumah tangga maupun pertanian bagi perempuan. Keberadaanya tentu menjadi penting dan hingga kini telah dipertahankan sebagai area ecotorism seperti di desa Lubuk Beringin. 

Pandemi Covid 19 bagi Perempuan Batin 3 Ulu

Pandemic covid 19, diakui oleh perempuan membawa dampak signifikan secara ekonomi. Sebagai penanggungjawab atas kebutuhan ekonomi keluarga, harus merubah taktik bertahan. Keberadaan Bujang Raba, yang selama ini hanya dianggap tegakan pohon oleh para induk ini kini dirasakan berkahnya, tentu memperpanjang kebutuhan ekonomi yang menghimpit. Bagaimana caranya? Bujang Raba yang selama ini dijaga oleh para induk, laki-laki dan juga elemen masyarakat lain, ternyata mampu memberikan manfaat bantuan ekonomi melalui paket sembako yang dibagikan bagi 1.259 rumah tangga dengan nilai karbon lebih dari 670.000 tCO2.

Perempuan, diakui Mak Jamris, pada masa Pandemi Covid 19 juga mulai menyadari, pentingnya menjaga Kesehatan dari berbagai sosialissasi yang dilakukan secara massif. Kembali pada lahan (mother land) dianggap point penting dan tak menggantungkan kebutuhan pangan rumah tangga dari luar desa. Pemenuhan ini sangat dirasakan dengan berbagai sayuran, cabai dan lainnya dikebun dan memancing ikan di sungai yang tidak menjadi bagian lubuk larangan. Kemandirian pangan juga tak terlepas dari keberadaan Bujang Raba yang nyata telah menghasilkan nilai ekonomi, dengan adanya sembako. Sehingga Mak Jamris merasa sumringah dan bersyukur, bahwa hutan yang tadinya dianggap hanya sebagai penutup lahan dan nantinya juga akan habis, ternyata tak harus dengan dibuka juga bisa mendatangkan manfaat lebih dari yang ia harapkan. Keberadaan Bujang Raba juga dinilai mampu memperlambat penyakit endemic, karena habitat dan ekosistem hanya menetap didalamnya dan berdampingan harmonis dengan masyarakat. Ini berarti hutan adalah bagian dari ‘jati diri’ perempuan yang keberadannya harus dijaga hingga generasi berikutnya lahir dari rahim perempuan.

Sumber: