Disway Award

Potensi BUMD Lirik Hilirisasi, Luas Lahan Perkebunan HGU di Jambi 280.065,03 Ha

Potensi BUMD Lirik Hilirisasi, Luas Lahan Perkebunan HGU di Jambi 280.065,03 Ha

Ilustrasi panen sawit-Faisal/jektvnews.com-

JEKTVNEWS.COM - Indonesia merupakan negara terbesar nomor satu penghasil kelapa sawit di dunia. Konstribusi produksinya hampir 59%, diikuti oleh Malaysia 24%, dan negara negara lainnya termaasuk di dalamnya Gana diangka 17%.

Dengan besarnya potensi dan keunggulan yang dimilikinya, industri minyak kelapa sawit Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam bidang ekonomi. Sebab, Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen dan pemasok Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.

Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia harus dimanfaatkan untuk meningkatkan sektor penerimaan pendapatan daerah.

Untuk Provinsi Jambi, tercatat jumlah lahan perkebunan di tanah Jambi yang dikelola perusahaan melalui Hak Guna Usaha (HGU) tercatat 280.065,03 Hektare yang dikelola 200 lebih perusahaan.

Potensi besar ini patut diperhatikan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mengembangkan potensi ini, apalagi bisa menggarap hilirisasi atau produk turunan sawit

Pakar Ekonomi Jambi, Prof.Dr.Haryadi mengatakan, BUMD sawit bisa menjadi salah satu alternatif strategis, namun keberhasilannya sangat bergantung pada dua syarat utama: fokus pada hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah dan pengelolaan yang profesional serta independen.

Terkait potensi besar lahan sawit di Jambi, yang disebut mencapai 280.000 hektar untuk HGU, Prof. Haryadi menekankan bahwa Jambi membutuhkan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini, menurutnya, paling efektif dicapai melalui peningkatan nilai tambah.

"Sebenarnya Jambi itu kan butuh penerimaan. Butuh penerimaan itu dari nilai tambah," kata Prof. Haryadi, Selasa 21 Oktober 2025.

Haryadi menyoroti kondisi saat ini di mana hasil sawit Jambi sebagian besar hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah atau Crude Palm Oil (CPO).

"Harusnya sawit yang ada itu kan jadi modal utama kita untuk mengembangkan industri. Lewat industri itulah nilai tambah," jelasnya.

Haryadi sangat mendukung jika BUMD Kabupaten/Kota nantinya diarahkan untuk menggarap sektor hilir (hilirisasi).

Menurutnya, jika BUMD bergerak pada pengembangan produk-produk turunan sawit, dirinya yakin BUMD tersebut akan berhasil.

"Kalau pergerakannya itu adalah untuk pengembangan produk, jadi produk-produk turunan daripada sawit itu yang dikembangkan, nah saya yakin itu akan berhasil," ungkap Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Jambi ini. 

Dilanjutkannya, Ada opsi bahwa BUMD dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta yang telah mapan untuk menjalankan model bisnis ini.

Namun Haryadi mengingatkan, berdasarkan pengalaman BUMD di Jambi selama ini,  banyak BUMD sebelumnya gagal memberikan keuntungan, bahkan modalnya habis, karena tata kelola yang tidak profesional.

"Pengalaman kita belum ada BUMD kita itu yang betul-betul menjanjikan, memberikan keuntungan. Bahkan semakin lama modal semakin habis," ungkapnya.

Haryadi menambahkan, syarat mutlak agar BUMD sawit ini tidak mengulang kegagalan adalah manajemen yang profesional dan independen, serta bebas dari intervensi kepentingan tertentu.

"Mesti dikelola secara profesional dan memang lepas daripada kepentingan daerah. Dipilih itu betul-betul orang-orang yang profesional melalui seleksi yang ketat. Kalau masih ada campur tangan, tidak betul-betul independen, ya dampaknya itu. Walaupun dikasih modal, tapi modal itu makin lama makin habis," ucapnya

Terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Henrizal menyatakan perusahaan sawit terluas di Jambi dipegang oleh PTPN VI seluas 27.315,72 Hektare (Selengkapnya Lihat Grafis). HGU PTPN itu berada di Kabupaten Muaro Jambi, Sarolangun, Batanghari dan Tanjabtim.

"Kalau untuk kewenangan Disbun Provinsi adalah perusahaan yang memiliki lahan di lintas Kabupaten. Sedangkan untuk satu kabupaten kewenangan pembinaan ada pada Pemkab," katanya.

"Yang jelas perusahaan yang telah mengantongi HGU terdapat kewajiban perusahaan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebesar minimal 20 persen. Atau istilahnya itu partisipasi terhadap usaha mereka di daerah sekitar usaha perusahaan," sambungnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Pengembangan Usaha Pembiayaan Investigasi Hamkamal mengatakan, perusahaan perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sebagian besar telah patuh terhadap regulasi yang berlaku, terutama terkait kewajiban pemenuhan kebun plasma untuk masyarakat sekitar.

Kewajiban ini merupakan amanat regulasi yang mengharuskan perusahaan menyediakan 20 persen dari total area izin usaha perkebunannya untuk dikelola oleh masyarakat

Menurut Hamkamal, kepatuhan ini terpantau pada perusahaan-perusahaan yang berada di bawah pengawasan lintas kabupaten/kota oleh Provinsi.

"Seperti kalau PTPN masih patuh. Semua kawan-kawan (perusahaan) masih patuhlah semua sampai sekarang," jelasnya.

Ia menyebut beberapa perusahaan seperti PTPN, KDA, SAL, hingga IIS (di area Tebo dan Batanghari) termasuk yang dimonitor kepatuhannya oleh pihak provinsi.

Dijelaskannya, mekanisme plasma yakni kewajiban 20 persen, Mekanisme yang berlaku adalah FPKM (Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat). Perusahaan inti wajib memfasilitasi dan membina pembangunan kebun milik masyarakat (plasma) di sekitar wilayah operasional mereka seluas 20 persen dari izin yang dimiliki.

"Sifatnya bina kebun masyarakat di sekitarnya lah kan, yang 20 persen itu," tambahnya.

Dalam skema kemitraan ini, hasil panen dari kebun plasma tersebut nantinya akan dijual atau disalurkan kembali kepada perusahaan inti untuk diolah," ucapnya.

Ditanya mengenai lembaga yang mengelola kebun plasma dari pihak masyarakat, narasumber itu mengungkapkan bahwa pengelolaannya didominasi oleh Kelompok Tani (Poktan) dan Koperasi.

Sumber: