“Polri dan komunitas intelijen harus waspada jika keputusan itu menimbulkan keinginan balas dendam. Misalnya dengan melakukan penyerangan pada kantor pemerintah karena jengkel teman mereka tidak dipulangkan,” jelas Ridwan.
Menurutnya, pemerintah harus mengawasi secara mendalam seluruh mantan napi terorisme dan semua peta jaringan ISIS di dalam negeri. Lanjutnya, pemerintah harus menambah satgas lebih banyak lagi dalam mengawasi hal tersebut.
Risiko lainnya dari keputusan ini adalah kemungkinan gugatan hukum dari keluarga eks ISIS di Indonesia.
“Bisa saja akan memicu class action terhadap pemerintah dengan alasan negara mengabaikan hak asasi warganya di luar negeri. Gugatan itu bisa saja muncul dari pihak keluarganya di Indonesia,” paparnya.
Ridlwan juga mengingatkan risiko yang muncul jika kamp pengungsian di Suriah dibubarkan oleh otoritas Kurdi.
“Waspadai pintu-pintu masuk imigrasi kita. Terutama ‘jalan-jalan tikus’, karena kalau bisa merembes masuk tanpa diketahui, akan sangat berbahaya,” ujarnya.
Pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa 600 warga negara Indonesia (WNI) eks ISIS yang sudah membakar paspor Indonesia seharusnya tidak bisa pulang ke Indonesia. Meski begitu, Jokowi menegaskan hal tersebut masih akan dibahas dalam rapat terbatas bersama kementerian/lembaga terkait.
Sebagai tindak lanjut, Menko Polhukam Mahfud Md menggelar rapat dengan sejumlah menteri dan lembaga negara. Mereka yang hadir adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Agama Fachrul Razi, Kepala BNPT Suhardi Alius, serta Menteri Luar Negeri Retno Masudi yang membahas soal ini pada Selasa (11/2) pagi. [gi,sm/uh,es]