Selain Jernang dan Rotan, Madu Sialang juga pernah menjadi ikon pengembangan komunitas masyarakat Suku Talang Mamak sejak tahun 2018 yang didukung oleh PT. ABT. Madu ini dikembangkan menjadi market branding melalui heritage dan kearifan local Suku Talang Mamak, agar mendapatkan harga dan hasil yang lebih baik, sehingga margin dapat diperoleh sesuai mutu dan kebutuhan pasar.
Meski begitu, suku ini juga hidup berdampingan dengan satwa, khususnya Gajah Sumatra. Karena area ini merupakan home range salah satu hewan yang masuk kategori critically endangered oleh IUCN pada 2006. Hingga saat ini tercatat oleh BKSDA Provinsi Jambi lebih dari 42 kasus. Dituturkan oleh Helen, salah satu pendamping masyarakat Simarantihan dari KKI Warsi, bahwasanya konflik seringkali tak terhindarkan antara masyarakat Suku Talang Mamak dengan Gajah. Konflik ini terjadi karena Gajah yang datang secara dispersal, tidak takut lagi dengan manusia. Hal ini berakibat pada rusaknya pondok, tanaman seperti Padi, Karet, Pinang, Jernang dan Ubi yang kebetulan disukai Gajah juga turut habis tak tersisa.
Bagi Helen, masyarakat Suku Talang Mamak penting mendapatkan edukasi bagaimana membangun harmonisasi dengan Gajah namun tetap aman dalam ketersediaan pangannya. Akan tetapi hal ini patut diwaspadai karena Gajah pada umumnya memang memiliki kecenderungan akan melewati area home range nya meski telah ditinggalkan selama 5 tahun sebelumnya. Pergeseran lalu lintas satwa terjadi karena pada dasarnya ketersediaan pakan dan tutupan hutan semakin sempit. Karenanya, BKSDA Provinsi Jambi secara khusus menyediakan hotline pengaduan ketika terjadi konflik dengan menghubungi call center 082377792384.
Dengan demikian, maka penting adalah bagaimana membangun tata kelola kawasan yang baik antara home range gajah dan ruang hidup masyarakat secara harmonis. Ketersediaan pakan gajah, area bermain dan jalur serta waktu-waktu dimana gajah diperkirakan akan melintas sebaiknya diamankan dari pemukiman dan perkebunan. Begitu juga, area tempat tinggal masyarakat harus dipastikan aman dari perlintasan. Belajar dari masyarakat tradisional India dengan tradisi Ngayah sebagai cara solidaritas membangun harmonisasi kehidupan antara Gajah (sebagai dewa Ganesha) dan manusia yang harus berlaku humanis terhadap sesama.
Pesan Saranghae dan Makna Cinta Semesta
Matahari semakin tinggi dan menunjukkan pukul 14.00 WIB. Sudah waktunya aku harus mengakhiri edukasi bersama dalam kemasan cerita menarik bersama masyarakat dan suku Talang Mamak. Ada rasa kagum, sekaligus terharu bagaimana mereka berjuang mempertahankan rimba sebagai ruang hidupnya. Meski begitu, semangat cinta akan rimba, tak hanya mengalir dari para orang tua, namun juga generasi millennials dengan hiruk pikuk facebook sebagai media sosial yang mereka miliki melalui jangkauan signal yang harus menaiki bukit.
Saranghae, sebagai pertanda makna cinta pada rimba. Hal ini ditandai dengan ibu jari dan telunjuk yang saling berhimpitan dan mengucapkan kata ‘Saranghae’ secara bersamaan saat aku harus pamit setelah mendengarkan bagaimana situasi pencarian Jernang, Rotan, hingga Jengkol, Petai, Ubi yang harus berjalan berkilo-kilometer guna mendapatkannya. Ditambah rasa was-was, karena tidak tahu kapan sang Gajah akan muncul dan melintas di area pemukiman maupun perkebunan mereka. Perkenalan pada kata ‘saranghae’ tak cukup atas makna keindahan drama Korea yang juga mulai mereka kenal, namun menjadi ikon baru dalam harmonisasi alam yang senantiasa memberikan kehidupan dan keberlangsungan penghidupan hingga generasi mendatang.
Hari Gajah Internasional yang diperingati setiap tanggal 12 Agustus, layak kita refleksikan melalui kalimat ‘saranghae’ atas sesama makhluk yang tinggal di alam semesta. Sudah semestinya, mari kita menjaga habitat Gajah yakni hutan sebagai ruang hidupnya sekaligus ruang hidup bagi mereka suku Talang Mamak yang tengah berjuang dan bertahan dalam perubahan situasi alam dan dinamika sosial yang terus berubah.