MENGENAL “SARANGHAE” DARI TALANG MAMAK BERSAMA RIMBA & SATWA

Jumat 13-08-2021,13:41 WIB

Nor Qomariyah[1]

Anyaman rotan berbentuk keranjang itu begitu rapi tersusun. Keranjang ini biasa menggantung di kepala para perempuan maupun laki-laki suku Talang Mamak. Sambal berceloteh dengan Bahasa yang sulit difahami bagi orang awam sepertiku yang baru pertamakali berkunjung ke dusun Simarantihan.Dusun ini merupakan salah satu dusun yang hanya dihuni oleh 54 KK dalam 4 Ketemenggungan Abu Nawas, Patih Sijin, Patih Sarunai, Mardan dimana masuk dalam wilayah administratif desa Suo-Suo Kabupaten Tebo pada 2018. Secara populasi pada 2020, Suku Talang Mamak dusun Simarantihan, berjumlah 191 (laki-laki 103 dan perempuan 88).

Saat ini, suku Talang Mamak di desa Simarantihan telah memiliki rumah papan permanen. Sebuah organisasi Bernama Frankfrut Zoological Society (FZS)merupakan salah satu organisasi yang berpusat di Jerman yang membantu membangun 25unit rumah papan bagi suku ini pada tahun 2000, lengkap dengan penampung air besar (tedmond) yang berdiri menjulang disebelah balai serba guna suku Talang Mamak. FZS merupakan salah satu NGo yang fokus dalam penanganan satwa, terutama Harimau dan Gajah Sumatra serta Orang Utan yang ada di area ini.

Ambung, itulah sebutan keranjang untuk memanen berbagai jenis sayuran maupun hasil hutan yang mereka dapatkan, seperti jengkol, petai, bahkan durian hutan. Rotan merupakan bahan utama pembuat ambung ini. Rotan bagi suku ini merupakan penghidupan dengan nilai tradisi lokal selain Jernang (Daemonorops spp) yang menjadi bahan tekstil.

Siang hari yang begitu terik, tak menyurutkan para indok (ibu) dalam mencari berbagai sayuran ataupun hasil hutan. Bersama, para perempuan ini begitu gesit mengumpulkan Jengkol yang akan mereka masak untuk santap siang. Berbeda dengan anak-anak, yang juga memiliki peran dalam mencari ikan di sungai. Kindok, sang Kepala Dusun menuturkan dahulu ikan begitu mudah didapatkan, kini rata-rata hanya 1-5 ekor ikan yang dapat ditangkap untuk lauk sehari-hari. Itupun harus tetap berbagi dan harus hati-hati mengambil ikan agar tetap terjamin ketersediaannya untuk hari berikutnya. Semakin sulit itu yang dirasakan. Karena menurut Kindok, perubahan cuaca ekstrim membuat sulit memprediksi sistem pertanian tradisional seperti yang mereka lakukan dengan cara gotong royong (Basolang).

Salah satu induk yang tak menyebutkan namanya mengatakan, bahwa dahulu sangat mudah menemukan berbagai jenis tanaman pangan Ketika tutupan hutan masih dalam kondisi baik. Karena secara adat suku Talang Mamak tak diperbolehkan membuka lahan secara serampangan, melainkan harus memilih lahan yang memang tutupan hutannya sudah tidak bagus lagi. Itupun pilihan komoditinya adalah tanaman pangan seperti padi lokal yang didahului dengan ritual sebelum penanaman.

Suku ini pada dasarnya memiliki sistem kekerabatan yang masih terjaga meski tersebar hingga ke Dusun Tuo Datai, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kemampuan menganyam rotan menjadi Ambung dengan berbagai ukuran, lukah, anyaman pandan tikar dan juga berbagai peralatan lainnya adalah hasil dari adaptasi dan belajar bertahan dengan tutupan hutan yang masih tersisa.

Mengenal Media Sosial “Facebook”

“Kakak, apakah kakak punya Facebook”? Terkesiap sejenak dan sambil tersenyum aku berfikir. “Tentu saja kakak punya” Jawabku pada celotehan anak-anak Suku Talang Mamak dengan keceriaan polosnya. Anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) ini dengan antusiasnya memintaku untuk add nama-nama mereka dalam FB, termasuk nama yang menurutku sangat keren yakni Paker. FB bagi anak-anak ini, menjadi bagian penting mereka mengenal dunia di luar mereka, terkoneksi tanpa batas dengan berbagai jalinan pertemanan. Mereka merasa bisa bertukar informasi, pertemanan tanpa harus bertemu scara fisik. Pengetahuan mengenai media sosial FB mereka pelajari secara otodidak karena dengan mudah gadget bisa didapatkan. Bahkan tempat untuk mendapatkan signal bisa diakses melalui salah satu bukit yang ditunjukkan padaku menggunakan jari-jari mungil mereka.

Begitu hangat mereka menyambutku hari itu (10/08/2021), duduk bersama dan menceritakan aktivitas keseharian mereka sambil bermain layang-layang. Aktivitas dalam satu minggu biasanya mereka isi dengan belajar sesuai dengan jam yang telah disepakati bersama dengan ibu guru pengampu. Tempat belajar yang sangat sederhana, hanya terdiri dari satu ruang kelas, dan satu ruang tempat tinggal ibu guru pengampu dilengkapi dengan panel surya sebagai sumber penerang di malam hari.

“Kami bersekolah kak, kami sudah bisa membaca sedikit-demi sedikit. Aku juga sudah hafal dengan huruf abjad”, celoteh anak-anak kelas 1 SD yang tak dapat aku hafalkan namanya satu persatu. Bersama-sama mereka serentak menghafalkan semua huruf abjad sambil bermain tebakan dan berbagi cerita lucu. Sempat salah satu diantaranya menanyaiku, apakah aku seorang guru? Kakak seperti ibu guru?Ya, karena melihatku berpakaian rapi, bersepatu, mereka melihat identitasku sebagai seorang guru. Bisa berbagi cerita dengan kami. Amazing menurutku, anak-anak ini begitu fasih berbahasa Indonesia, tentu saja tak sulit bagiku berkomunikasi.

Facebook sejatinya media sosial yang cukup signifikan penggunaanya untuk berbagai jenis kebutuhan, mulai dari konten penjualan barang, konten pribadi, hingga memanfaatkan untuk mengajak ikut berperan serta menjaaga hutan. Facebook merupakan penghubung dunia luar, yang tentunya harus ada filterisasi nilai dan kontennya. Akan tetapi, penggunaanfacebook di Simarantihan masih dalam kategori sesuai norma sosial yang wajar dan tentu saja ini menjadi peluang menarik mengenalkan generasi millennials Talang Mamak dengan berbagai isu lingkungan dan hutan sebagai entry point edukasi melalui media sosial facebook mereka sekaligus memanfaatkan pengenalan potensi heritage tourism yang mereka miliki saat ini.

Makna Rimba Suku Talang Mamak dan Harmonisasi Alam-Satwa

Rimba, menjadi bagian penting dari kehidupan Suku Talang Mamak. Segala yang mereka butuhkan tersedia dan dipenuhi oleh hutan. Sehingga keterikatan dengan hutan pada suku ini sangat tinggi. Meski mereka telah beradaptasi dengan pola pertanian baru dengan cara menetap, namun bagi mereka tetaplah hutan menjadi rumah bagi mereka. Karenanya, peran suku ini sangat penting dalam menjaga keutuhan hutan, rimba mereka termasuk kberlangsungan penyangga Bukit Tigapuluh. Adalah PT. Alam Bukit Tigapuluh sebagai salah satu perusahaan restorasi ekosistem seluas 38.665 ha yang telah ada sejak 2015, dimana area ini termasuk dusun Simarantihan.

Omri, salah satu ranger PPH PT. ABT menyebutkan bahwa PT. ABT melibatkan masyarakat Simarantihan dalam pengamanan restorasi ekosistem. Apalagi ditengah pembukaan lahan yang massif di area ini, ditambah dengan berbagai jerat satwa, seperti jerat Rusa dan Kijang yang sering kali ditemukan saat patroli, terutama dalam kurun waktu Februari-Maret 2021, telah terhitung 26 jerat. Sebagai suku asli, maka selayaknya mereka juga mendapatkan perlindungan dalam kehidupan dan penghidupan, seperti halnya dalam IFCs PS 5 dan 7, tambah Ridwan yang juga merupakan salah satu ranger PPH yang aktif berpatroli di kawasan ini.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler