Pemerintah juga bisa menaikkan rasio pajak. Terutama mengejar kepatuhan wajib pajak kakap. Sehingga, terbentuk reformasi pajak yang adil.
Terakhir, pemerintah bisa melakukan skema debt swap untuk mengurangi beban utang. Yakni, menukar beban utang dengan program. Asalkan disetujui oleh kreditur.
Indonesia pernah waktu tsunami Aceh 2004. Pemerintah menukar rekontruksi pasca bencana dengan pengurangan beban utang pinjaman dari Jerman. Melihat potensi Jerman yang fokus dengan pendidikan, Indonesia mengurangi utangnya dengan harus membelanjakan lebih banyak di sektor pendidikan.
“Jadi pemerintah harusnya punya kreativitas untuk itu. Nah ini sekarang nggak kreatif,” pungkasnya.
Terpisah, anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti, utang yang tumbuh namun berbanding terbalik terhadap penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu membuat Indonesia semakin terjebak dalam utang.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI itu melihat, porsi utang dalam valas memang menurun menjadi 13 persendari total utang pemerintah. Namun, nilai rupiah yang cenderung terdepresiasi menyebabkan utang negara semakin riskan. Baik cicilan pokok maupun bunganya.
“Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita masih mengatakan utang kita aman-aman saja. Ini sudah taraf mengkhawatirkan,” tegas Anis.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menegaskan perlunya klarifikasi terkait perhitungan rasio hutang pemerintah Indonesia terhadap PDB. Di sisi lain, data rasio utang terhadap ekspor yang telah mencapai 209 persen. Data tersebut mengingatkan kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyatakan meningkatnya utang pemerintah karena pandemi Covid-19, sangat berbahaya dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (22/6).