JAKARTA – Utang pemerintah Indonesia sudah dalam level membahayakan. Per April 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah berada di posisi Rp 6.527,29 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 41,18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti kemampuan pemerintah dalam membayar utang yang nilainya kian besar itu. Menurut dia, kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan kekuatan anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Sebab, beban bunganya sangat besar. Tahun ini saja, bunganya mencapai Rp 373 triliun.
“Itu setara 25 persen porsinya terhadap penerimaan pajak. Jadi seperempat penerimaan pajak habis untuk membayar kewajiban bunga utang. Di luar dari cicilan pokoknya,” kata Bhima kepada Jawa Pos, kemarin (25/6).
Berkurangnya kemampuan negara membayar pinjaman tercermin dari data debt to service ratio atas penerimaan negara (lihat grafis). Angkanya setiap tahun naik. ’’Ini yang harus dievaluasi. Utang banyak, tapi tidak meningkatkan penerimaan negara,’’ kritik Bhima.
Idealnya, utang pemerintah dialokasikan pada sektor-sektor produktif. Industri manufaktur, misalnya, yang berkontribusinya sebanyak 30 persen terhadap total penerimaan pajak. Jika industri itu tumbuh, kontribusi terhadap rasio pajak juga meningkat. Maka, kemampuan membayar utangnya juga menjadi lebih baik.
Lulusan University Of Bradford, Inggris, itu justru melihat anggaran pemerintah banyak digunakan untuk belanja yang sifatnya birokrasi. Seperti, belanja pegawai, perjalanan dinas, belanja barang, dan transfer dana ke daerah. Sementara, rata-rata 30 persen anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) digunakan untuk belanja pegawai.
Bhima menyebut, program work from Bali oleh Kemenko Maritim dan Investasi justru blunder. Alih-alih untuk mendorong pariwisata, malah menambah penularan Covid-19 di Pulau Dewata. Seperti yang diungkapkan Sekretaris Satgas Penanganan Covid-19 Bali Made Rentin. Padahal bisa work from home.
Dengan demikian, ruang fiskal pemerintah akan semakin kecil. Terutama untuk melakukan belanja lain yang sifatnya urgen. “Giliran butuh belanja kesehatan dan perlindungan sosial, tapi sebagian besar sudah tersita untuk membayar tagihan rutin,” ujarnya.
Makanya, pemerintah harus membenahi belanja. Mengevaluasi pengeluaran yang tidak produktif. Pangkas belanja yang birokratis.
Bhima mengkritisi, kesalahan tata kelola utang Indonesia adalah melepas surat utang negara (SUN) ke investor asing. Masalahnya kepemilikan investor asing lebih besar ketimbang investor lokal. Sehingga, ketika terjadi krisis, lalu investor asing menjual SUN tersebut maka akan menyebabkan capital outflow. Nilai tukar rupiah melemah dan sistem keuangan akan terguncang.
“Jadi Indonesia dalam sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah harus hati-hati,” jelasnya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang prudent (hati-hati) dalam mengelola utang. Dia khawatir jika kondisi ini terus berlanjut akan berimbas terhadap crowding out effect. Yakni, pemerintah sangat agresif menerbitkan surat utang.
Apalagi menjelang tapering off bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve. Situasi tersebut justru akan menyedot likuiditas di dalam negeri. Ujung-ujungnya akan menghambat investasi swasta. Karena harus membayar cost of fund lebih mahal.
Menurut Bhima, cara agar utang tidak semakin membengkak adalah dengan merestrukturisasi utang terhadap para kreditur. Bahkan sampai penangguhan pembayaran bunga utang. Mengingat, International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia menawarkan kepada negara-negara terdampak pandemi untuk melakukan renegosisasi penangguhan pembayaran bunga utang.
Kesempatan itu terbuka bagi Indonesia. Karena berhak juga untuk mendapat fasilitas itu. “Indonesia bisa melobi para kreditur khususnya yang berbentuk pinjaman atau loan itu untuk penangguhan pembayaran bunga utang sampai 2023. Jadi kita bisa lebih banyak berhemat,” ungkapnya.