Namun, Januari-Mei 2020 harga turun dan mencapai USD 526 /ton yang disebabkan antara lain oleh Permintaan di China mulai menurun karena pengaruh Covid-19, Tekanan pasokan kedelai ke China karena perang dagang dengan Amerika berkurang dengan panen kedelai di Brazil, dan Anjloknya harga minyak bumi yang mencapai USD 27/barel (USD 147 /ton).
Ketua Gapki Pusat, Joko Supriono kepada wartawan, Kamis (04/02/21) mengatakan, pada Mei 2020, China sudah pulih dari pandemi dan meningkatkan impor besar- besaran oilseed dan minyak nabati untuk memulihkan stok yang telah terkuras yang mendorong harga minyak nabati naik.
"Pidato Presiden Jokowi pada Agustus 2020 yang menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus melaksanakan program biodiesel dalam negeri ikut mempertahankan tren naik harga minyak nabati." jelasnya.
Katanya, harga yang baik pada awal 2020, memungkinkan pekebun memupuk dan memulihkan kebunnya sehingga dengan didukung cuaca yang mendukung terjadi kenaikan produksi CPO & PKO rata-rata Jan-Jun 2020 sebesar 3.917 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 4.680 ribu ton untuk rata-rata Juli-Des 2020. Bersamaan dengan kenaikan tersebut, harga CPO dan minyak nabati naik dari rata – rata USD 646 /ton di semester I 2020 menjadi USD 775 /ton pada semester II 2020.
"Di dalam negeri, kebijakan pembatasan skala besar (PSBB) akibat Covid-19 menyebabkan penurunan konsumsi untuk pangan turun pada 2020 dari 801 ribu ton pada Januari menjadi 638 ribu ton pada Juni 2020. Pelonggaran pembatasan menaikan kembali ke 723 ribu ton pada Desember 2020. Konsumsi untuk oleokimia naik terus karena meningkatnya konsumsi sabun dan bahan pembersih dari 89 ribu ton pada Januari menjadi 197 ribu ton pada Desember 2020." tuturnya.
Konsumsi untuk biodiesel naik dibandingkan 2019 karena perubahan kebijakan dari B20 menjadi B30. Secara total 2020, konsumsi produk minyak sawit dalam negeri 17,35 juta ton naik 3,6% dari tahun 2019 sebesar 16,75 juta ton.
Akibat dari situasi pandemi yang berdampak global, performa volume ekspor minyak sawit Indonesia pada 2020 dengan total ekspor 34,0 juta ton bergeser turun dibandingkan dengan performa 2019 dengan total ekspor sebesar 37,39 juta ton. Penurunan terbesar terjadi ke China (-1,96 juta ton), ke EU (-712,7 ribu ton), ke Bangladesh (-323,9 ribu ton), ke Timur Tengah (-280,7 ribu ton), dan ke Afrika (-249,2 ribu ton) sedangkan ke Pakistan naik (+275,7 ribu ton) dan ke India naik 111,7 ribu ton. Meskipun terjadi penurunan volume ekspor, secara nilai, ekspor tahun 2020 yang mencapai USD 22,97 miliar lebih tinggi dari tahun 2019 sebesar USD 20,22 miliar.
Neraca perdagangan bulanan Indonesia pada 2019 hampir selalu negatif dengan total defisit sebesar USD 3,23 miliar sedangkan pada tahun 2020 selalu positif kecuali pada bulan Januari dan April dengan total nilai USD 21,72 miliar.
Selama tahun 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar USD 21,27, dimana ekspor produk kelapa sawit menyumbang sebesar USD 22,97 miliar. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa di masa pandemi, kontribusi minyak sawit terhadap devisa negara sangat signifikan dalam menjaga neraca perdagangan nasional tetap positif.
PROSPEK 2021
Tahun 2021, pengaruh pandemi Covid-19 diperkirakan belum berakhir. Produksi minyak sawit Indonesia 2021 akan naik signifikan karena pemeliharaan kebun yang lebih baik, cuaca yang mendukung dan harga yang menarik sehingga diperkirakan mencapai 49 juta ton untuk CPO dan 4,65 juta ton untuk PKO.
Dengan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program B30, konsumsi biodiesel diperkirakan sebesar 9,2 juta KL (Aprobi 2021) yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. Penggunaan sawit untuk oleokimia di 2021 diperkirakan sekitar 2 juta ton untuk domestik dan sekitar 4,5 juta ton untuk ekspor (Apolin 2021).
Permintaan minyak nabati dunia akan sangat tergantung dari keberhasilan vaksin Covid-19. Keberhasilan program vaksin akan meningkatkan aktivitas ekonomi sehingga akan meningkatkan konsumsi minyak nabati termasuk minyak sawit. Selain itu, banyak negara yang karena alasan ekonomi terpaksa lebih terbuka. Ekspor minyak sawit Indonesia diperkirakan akan meningkat di tahun 2021 baik volume maupun nilainya. Faktor yang diperkirakan mengganggu permintaan antara lain berjangkit kembalinya Covid-19 di China maupun negara lain, dan juga berjangkitnya African Swine Fever yang mengganggu permintaan oilseed dan oilmeal yang pada akhirnya akan mengganggu permintaan minyak nabati termasuk minyak sawit.
Beberapa isu penting dan menjadi fokus kegiatan GAPKI tahun 2021 adalah: (1) Penerapan dan Pengawalan Implementasi Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Perundangan turunannya; (2) Penguatan penerapan Sustainability, melalui Percepatan dan Penyelesaian Sertifikat ISPO bagi anggota GAPKI, dan (3) Penguatan Kemitraan untuk Peningkatan Percepatan Percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).