JAKARTA — Ketua Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menegaskan adalah hak warga negara Indonesia atas pendidikan tidak dibatasi oleh pakaiannya. Katanya, dalam hidup bernegara, semua aturan harus selaras dengan konstitusi, tidak asal dibuat mengikuti mayoritas.
Hal ini dikatakan Alissa Wahid dalam cuitan di akun Twitternya menanggapi polemik seorang siswi non muslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, yang diharuskan mengenakan jilbab untuk mengikuti pembelajaran.
Belakangan siswi tersebut menolak, wali murid juga mendatangi pihak sekolah untuk meminta kejelasan aturan sekolah tersebut.
Pemberlakuan peraturan pengenaan jilbab di sekolah negeri ini viral di media sosial. Putri mendiang Abdurrahman Wahid (Gusdur) itu turut angkat bicara.
“Sepertinya Kemdikbud harus lebih kuat menegaskan bahwa ekosistem pendidikan milik Negara tidak memaksakan jilbab untuk murid non muslim & bahkan juga muslimah. Sebaliknya, juga tidak boleh melarang penggunaan jilbab bagi yang menginginkannya,” papar Alissa Wahid di Twitter, dilansir fajar.co.id, Minggu (24/1/2021).
Tanpa penegasan, tegas Alissa, para pengelola sekolah akan menggunakan tafsir yang berbeda-beda. Dan bila pengelola sekolahnya meyakini mayoritarianisme sekaligus klaim kebenaran mutlak, maka akan ada potensi aturan pakaian yang melanggar hak konstitusi warga yang menjadi korban.
“Sekolah milik negara di wilayah mayoritas muslim, tidak bisa atas namakan menghormati mayoritas lalu memaksa murid berjilbab. Sekolah di wilayah mayoritas non muslim, tidak boleh memaksa murid melepas jilbab,” tekannya.
Alissa meminta pemerintah melakukan upaya prefentif agar kejadian ini tak terulang lagi. Pertama perlu memperkuat perspektif konstitusi kepada insan pendidikan, sekaligus memperkuat perspektif peran sebagai ASN yang harus selalu pakai kacamata wakil negara
Selanjutnya, mesti ada penguatan kembali praktik beragama di Indonesia yang menghargai keberagaman keyakinan dan jauh dari sikap klaim kebenaran ajaran yang diyakininya. Yang ini, Kemdikbud harus kerjasama dengan Kemenag.
Tanpa dua hal ini, menurut Alissa, aturan tegas Kemdikbud akan sulit diinternalisasikan oleh tenaga pendidik. Ia mengaku sudah berulang kali mendapati kasus di mana sekolah tidak membuat aturan berjilbab secara tertulis, tapi melakukan intimidasi halus kepada siswi muslimah yang tidak berjilbab.
“Makanya, soal paradigma kehidupan beragama juga penting, bukan hanya aturan. Jangan naif melihat pemaksaan/pelarangan jilbab di sekolah hanya urusan pakaian. Di balik itu ada trend penebalan ideologi mayoritarianisme & eksklusivisme beragama. Dan ujungnya bukan hanya soal pakaian atau soal perempuan, tapi akan sampai ke soal kehidupan kebangsaan,” ungkapnya.
Diinformasikan, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmandi telah menyampaikan permintaan maaf terkait Pemberlakuan peraturan pengenaan jilbab di sekolahnya.
Kasus ini viral di media sosial usai siswi SMK 2 Padang yang non muslim, Jeni Cahyani Hia mengaku disuruh pihak sekolah mengenakan jilbab. Orang tua Jeni, Elianu Hia mengunggah surat pernyataan yang dibuatnya usai anaknya disuruh menggunakan jilbab oleh pihak sekolah.
Sumber: www.fajar.co.id