Wednesday, 18 Nov 2020
Lewis Hamilton itu seperti penanda usia bagi saya. Dari semua superstar Formula 1, pembalap Inggris itu mungkin adalah yang paling saya perhatikan karirnya dari awal sampai sekarang. Bukan berarti saya fans berat, tapi kebetulan era menjadikan dia sebagai pengukur umur bagi saya.
Ketika dia memulai karir di F1 pada awal 2007, saya juga terbilang masih muda. Belum 30 tahun. Sekarang, di penghujung 2020 ini, Lewis Hamilton sudah menjadi juara dunia tujuh kali, menyamai rekor Michael Schumacher. Dan sekarang saya sudah berusia (...).
Yang lebih "menyesakkan" lagi, saya punya foto-foto yang membuktikan perjalanan umur saya seiring dengan perkembangan karir Hamilton. Waktu masih aktif meliput dan menjadi komentator F1, saya juga pernah menjadi saksi langsung momen-momen terpenting dalam karirnya.
Saya ingat betul Grand Prix Australia, di Melbourne, pada Maret 2007 itu. Saya berada di sana, meliput bersama rekan di media waktu itu, Nanang Prianto. Juga bersama Bobby Arifin, "tokoh F1" Indonesia yang punya jam terbang di sirkuit F1 lebih banyak dari manusia Indonesia lain.
Waktu itu, kehadiran Hamilton sudah begitu diantisipasikan. Seorang pemuda kulit hitam (ibunya kulit putih) yang sejak kecil sudah di-grooming untuk jadi seorang juara dunia. Berada di bawah binaan McLaren, di bawah kepemimpinan Ron Dennis (salah satu bos tim idola saya).
Belum pernah ada rookie begitu siap untuk masuk F1. Dengan jam terbang uji coba begitu tinggi, dengan pengalaman lomba begitu komplet --sekaligus berprestasi-- di kategori junior.
Hamilton, waktu itu masih "anak-anak" (usia 22 tahun) dengan wajah ceria polosnya, langsung jadi sorotan sejak balapan pertamanya. Saya, Nanang, dan Bobby memastikan kita punya foto bersama dia di Grand Prix Australia itu. Itu bakal jadi catatan sejarah (sekaligus pengukur usia) perjalanan hidup kita.
Dengan ramah, dan tanpa pengawalan siapa-siapa, Hamilton melayani permintaan foto kami. Saya, Nanang, dan Bobby bergantian saling memotretkan di belakang garasi McLaren-Mercedes, di Sirkuit Albert Park.
Tidak lama kemudian, F1 menyelenggarakan sesi uji coba khusus di Sirkuit Sepang, Malaysia. Saya kembali ke sana. Dalam situasi lebih santai, karena tidak terkekang protokol lomba, saya kembali minta foto bareng Hamilton. Beres. Santai. Rileks.
Tahun itu pula, Hamilton menggebrak F1. Dia meraih kemenangan pertamanya di Kanada di pertengahan musim. Lalu punya kans jadi juara dunia di penghujung musim, bersaing dengan rekan setim sendiri, Fernando Alonso.
Dalam salah satu lomba terakhir, Grand Prix Tiongkok di Shanghai, saya juga berada di sana untuk meliput langsung. Berharap menjadi saksi sejarah, Lewis Hamilton mengunci gelar juara dunia di musim pertamanya.
Ternyata, balapan itu apes buat kami berdua.
Hamilton melebar di jalur pit, merusak mobilnya. Gagallah dia jadi juara dunia hari itu. Bahkan, dia gagal jadi juara dunia di akhir musim. Fernando Alonso juga gagal. Yang jadi juara dunia justru Kimi Raikkonen (Ferrari), dengan selisih satu poin di atas Hamilton dan Alonso (yang imbang).