JAKARTA - Mata rantai sebaran isu komunis yang selalu dimainkan menjelang Oktober terus masuk tanpa ada yang menghalangi. Tudingan pun selalu diarahkan kepada mereka sebagai lawan politik, agar situasi dan kondisi tak nyaman.
Direktur Political and Public Policy Studies Jerry Massie menyebut goreng-menggoreng isu yang sangat kental ini harus segera dicairkan. ”Apalagi isu PKI di Indonesia. Ini kental sekali,” kata dia dalam webinar Political and Public Policy Studies (P3S) yang bertajuk: Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik? Selasa (22/9).
Padahal paham komunis lebih condong ke kaum buruh dan seruan mereka agar seua manusia yang tertindas bangkit. Bahkan Theimer mengatakan gagasan bahwa kekayaan ini merupakan milik semua pemilikan bersama lebih baik daripada milik pribadi. ”Itu bukan rahasian umum, dan kecenderungannya ada di negara mana pun, mencari kekuasaan untuk kepentingan pribadi, atau mempertahankan kekuatan politik,” jelasnya
Disadari, sejarah kelam pembantaian PKI tidak akan dilupakan. ”Jangan dikubur, dan jangan pula dilupakan. Tapi saat ini kita hidup di masa present bukan past (lampau), biarlah kita berpikir future (masa akan datang) bangsa ini. Ya barangkali kalau tak di lihat dalam kacamata dogmatis maka berbahaya,” imbuhnya.
Jerry juga menyampaikan sejarah Marx yang populer. ”Selain Marx, Glasnot dan Perestroika di Uni Sovyet pada 1991 juga pecah sampai ke Yugoslavia. Dan saat ini Cina menjadi kekuatan dan barometer komunis. Ini tercatat pada 2017 jumlah keanggotaan paham ini hampir 89,45 juta sedangkan partai komunis di parlemen berjumlah 2.982,” terangnya.
Ajaran komunis masuk Indonesia pada tahun 1913. Masuknya Komunisme ke Indonesia dibawa Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet asal Belanda bersama Adolf Baars dan mendirikan ISDV. ”Namun akhirnya, Maret 1966 Presiden Soeharto melarang komunis dan Tahun 1966 dibekukan yang ditanda tangani oleh Jenderal AH Nasution,” ujarnya.
Sampai saat ini urai dia, isu komunis dijadikan komoditas politik sama seperti isu HTI dan Khilafah. ”Kalau di Amerika Serikat isu yang terkenal sejak Presiden Abraham Lincoln yakni black and white issues (isu hitam dan putih). Atau ini lebih dikenal dengan isu rasial. Maka kita menekankan perlu dihindari hal ini dijadikan propaganda politik oleh sebagian kelompok. Dengan menggunak isu politik identitas,” terangnya.
Sementara itu, data survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan 47 persen publik menganggap kerja sama Indonesia dan China adalah murni bisnis yang saling menguntungkan, tidak ada kaitan dengan paham komunis atau PKI.
Temuan itu disampaikan Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas saat mempresentasikan hasil survei nasional SMRC bertajuk ”Sikap Publik atas Isu Kebangkitan PKI” secara daring, di Jakarta.
Survei Nasional tersebut dilakukan pada 23-26 September 2020 dengan melibatkan 1203 responden yang diwawancara per telepon yang terpilih secara random. Margin of error diperkirakan +/-2,9 persen.
Hal itu, kata dia, menunjukkan bahwa kampanye negatif untuk membangun citra bahwa peningkatan hubungan perdagangan Indonesia dengan Cina adalah sesuatu yang berdampak buruk karena akan menghidupkan kembali komunisme tidaklah efektif.
Persentase warga yang setuju dengan pendapat kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunis dan PKI di Indonesia hanyalah 26 persen.
Namun demikian, Abbas menyatakan angka ini tidak bisa dianggap remeh. ”Kita harus ingat bahwa menurut survei ini sebenarnya warga yang percaya dengan isu kebangkitan PKI hanya 14 persen. Dan yang percaya kebangkitan PKI sudah menjadi ancaman lebih kecil lagi,” katanya
Jadi, kalau ada 26 persen warga yang menganggap kerja sama dengan China dapat membangkitkan kembali paham komunisme, itu menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut sebenarnya masih hidup dan sangat mungkin dieksploitasi.
Pandangan yang setuju dengan pendapat kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunisme dan PKI berbeda bila dilihat dari kelompok demografis. Persentase pria yang setuju dengan pendapat tersebut sekitar 29 persen, sementara 24 persen perempuan setuju. Adapun warga kota yang setuju dengan pendapat tersebut 26 persen, sementara di desa 27 persen.