JAKARTA – Gagal panen, kekeringan sudah mulai terlihat di depan mata. Sementara ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) juga menjadi warning berikutnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian harus segera bergerak mengantisipasi hal ini.
Ya, kondisi kekeringan terjadi di 28 desa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan berdampak terhadap 10.613 ribu keluarga. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengatakan kekeringan terjadi akibat hujan yang tidak turun selama musim kemarau tahun ini.
Desa yang terdampak berlokasi di 11 kecamatan yakni Kecamatan Jasinga, Citeureup, Cariu, Cigudeg, Klapanunggal, Jonggol, Tanjungsari, Rancabungur, Sukajaya, Ciampea, dan Nanggung.
”Tim telah mendistribusikan bantuan air bersih ke beberapa titik di sembilan kecamatan dan wilayah lain secara bertahap. Total air yang sudah didistribusikan sebanyak 280 ribu liter,” kata Agus melalui siaran pers, Rabu (16/9).
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan kemarau masih berlangsung di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober khususnya di sebagian besar Pulau Jawa.
BNPB meminta pemangku kebijakan mengantisipasi dampak dari kemarau terutama di wilayah yang rentan. Sedangkan musim hujan akan dimulai secara bertahap pada akhir Oktober di Indonesia bagian barat.
Terpisah, Kepala Sub Direktorat Pengendalian Karhutla KLHK Radian Bagiyono menjelaskan data matriks via satelit TERRA/AQUA yang diambil dari sistem pengawasan kebakaran hutan dan lahan KLHK SiPongi, titik panas pada Agustus 2020 sebanyak 945, turun jauh dibandingkan 3.428 titik panas dalam bulan yang sama pada 2019.
”Kondisi cuaca pada 2020 memang berbeda dengan tahun sebelumnya, di mana tahun ini BMKG) memperkirakan terjadi kemarau relatif basah. BMKG memperkirakan Agustus akan menjadi puncak dari musim kemarau dengan kondisi kering akan sudah mulai menurun pada September,” jelasnya.
Data KLHK sendiri menunjukkan terjadi penurunan luas kebakaran hutan dibandingkan sebelumnya dengan Januari-Agustus 2020 terdapat 120.536 hektare (ha) lahan yang terbakar dibanding 328.724 ha dalam periode yang sama pada 2019.
Nah itu artinya terjadi penurunan 63,33 persen luas kebakaran hutan dan lahan dibandingkan 2019 atau turun 208.188 ha.
Namun, Radian mengatakan KLHK dan seluruh pemangku kepentingan di daerah tidak akan menurunkan kewaspadaan terkait ancaman kebakaran hutan dan lahan, mengingat fase krisis belum usai.
Hal itu karena secara umum musim kemarau Indonesia terjadi di bulan Juni sampai Oktober sehingga masih saat ini masih dalam posisi fase krisis ancaman munculnya titik panas dan titik api. ”Khususnya kalau kita merujuk ke prediksi BMKG puncak musim kemarau kita akan berlangsung Agustus dan September sehingga kalau melihat konteks 2020, mudah-mudahan setelah Oktober kita sudah bisa melewati fase krisis,” tegasnya.
Menjawab kondisi ini Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy mengatakan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) bisa membantu petani untuk menghindari kerugian. ”Misalnya untuk lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, seluas 800 hektare, terancam gagal panen akibat kekeringan tahun ini, kami mendorong petani untuk memanfaatkan AUTP,” terang Sarwo Edhy dalam keterangan tertulis.
Ditambahkannya dalam AUTP premi yang harus dibayarkan pun relatif terjangkau, sebesar Rp180.000 /hektare/MT. ”Sedangkan nilai pertanggungan sebesar Rp6.000.000/ha/MT. Asuransi ini memberikan perlindungan terhadap serangan hama penyakit, banjir, dan kekeringan. Petani dijamin tidak akan merugi karena lahan sudah ter-cover asuransi,” katanya.
Sarwo menambahkan keuntungan berasuransi adalah petani bisa segera melakukan tanam kembali karena bagian dari mitigasi bencana. Untuk mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), petani bisa bergabung dengan kelompok tani.