Uang sejumlah Rp 1, 2 M pemberian dari Aliang, kemudian Rp 350 juta dari Rudy Lidra Amidjaja dengan beberapa tahap. Selanjutnyta uang sejumlah Rp 350 juta dari Ali Tonang alias Ahui, yang juga secara bertahap.
Kemudian Rp 250 juta pemberian dari Suarto dan Endria Putra, ada juga uang Rp 200 juta dari Andi Putra Wijaya, Rp 250 juta dari Yosan Tonius alias Atong dalam dua kali penyerahan, Rp 100 dari Ismail Ibrahim alias Mael. Uang sejumlah Rp 300 juta dari Paut Syakarin dalam 3 kali penyerahan. Uang sejumlah Rp200 juta dari Musa Efendi pada tanggal 12 Oktober 2017 yang diserahkan langsung kepada Terdakwa.
Uang sejumlah Rp 100 juta dari Muhammad Imanuddin alias IIM pada tanggal 2 September 2017 yang diantarkan oleh staf IIM yang bernama Basri ke rumah Terdakwa. Kemudian Uang sejumlah Rp100 juta dari Kendrie Aryon alias Akeng, pada saat terdakwa baru dilantik menjadi Kabid Bina Marga PUPR Provinsi Jambi pada tahun 2017, yang diserahkan langsung oleh Akeng kepada terdakwa di ruang kerja terdakwa.
Lalu ada uang sejumlah Rp100 juta dari Timbang Manurung melalui Rinie Anggrainie Putri pada tanggal 16 November 2017 yang diserahkan di kantor Bidang Bina Marga PUPR Provinsi Jambi. Uang sejumlah Rp100 jura pemberian dari Widiantoro pada pertengahan bulan September 2017 melalui staf terdakwa yang bernama Dera.
Selanjutnya uang sejumlah Rp150 dari Sumarto alias Aping melalui stafnya yang bernama Bekti pada bulan November tahun 2017 di ruang kerja Terdakwa Terakhir Uang sejumlah Rp150 juta dari Komarudin.
“Atas bukti-bukti yang ada terdakwa telah memenuhi unsur pidana dengan menarima haidah, untuk itu penuntut umum meminta kepada majelis hakim menlanjutkan dakwaan penuntut umum,” kata Penuntut umum.
“Bahwa perbuatan terdakwa bersama dengan Zumi Zola Zulkifli menerima gratifikasi dalam bentuk uang yang seluruhnya sebesar Rp 7.100.000.000,00 ditambah USD30.000,00 dan SGD100.000,00 tersebut, haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas Zumi Zola Zulkifli selaku Penyelenggara Negara yaitu sebagai Gubernur Jambi. Hal mana bertentangan dengan kewajiban Zumi Zola Zulkifli selaku Gubernur Jambi,“ tegasnya
Dalam kasus ini, Arfan di dakwa dengan dua dakwaan, dakwaan pertama yakni Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan dakwaan kedua Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Setelah mendengarkan Dakwaan Jaksa, Penasehat hukum Arfan, Helmi menyatakan keberatan atas dakwaan penuntut umum, sebab ada beberapa poin yang tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Arfan.
“Saya hanya menyampaikan pesan klien saja, sebab dari catatan pak Arfan beliau hanya terima Rp 4 M, bukannya Rp 7 M seperti didakwaan penuntut umum,” Kata Helmi usai persidangan.
“Di sini kliennya juga meminta keadilan, sebab mengapa kasusnya tidak digabung dengan kasus sebelumnya, untuk lebih jelas kita akan sampaikan dipersidangan saja,” ungkapnya.
Sidang selanjutnya akan di gelar Kamis pekan dengan dengan agenda mendengarkan eksepsi dari penaehat hukum Afran. (scn)