Ramai-Ramai Kritik Rumah Subsidi 18 m² Layak Huni atau Sekadar Solusi Murah Meriah?

Minggu 08-06-2025,09:52 WIB
Reporter : Diana Hrp
Editor : Diana Hrp
Ramai-Ramai Kritik Rumah Subsidi 18 m² Layak Huni atau Sekadar Solusi Murah Meriah?

JEKTVNEWS.COM - Di tengah semangat menyediakan hunian murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah justru memantik kontroversi lewat usulan ukuran rumah subsidi yang hanya seluas 18 meter persegi. Angka ini mengundang pertanyaan, kritik, dan perdebatan publik apakah ini solusi nyata atau justru bentuk pengabaian terhadap standar kehidupan layak?

BACA JUGA:Bye-bye Kelas BPJS, Ini 12 Standar KRIS yang Bikin Ruang Rawat Semua Pasien Setara!

Pemerintah tengah mengkaji opsi rumah subsidi super mini—berukuran hanya 18 m² untuk menekan biaya dan mempercepat distribusi hunian bagi masyarakat miskin. Usulan ini konon akan menyasar wilayah urban dengan keterbatasan lahan dan tingginya kebutuhan tempat tinggal.

Sebagai pembanding, rumah subsidi yang selama ini ditawarkan umumnya berukuran 21 hingga 36 m². Maka tak heran jika publik menanggapi 18 m² dengan rasa kaget bahkan sinis. Ukuran tersebut dinilai terlalu sempit, bahkan untuk satu orang dewasa, apalagi keluarga kecil.

Respons negatif langsung muncul dari berbagai kalangan. Pengamat perumahan, LSM, hingga tokoh publik menyuarakan kekhawatiran bahwa rumah seluas 18 meter persegi akan menciptakan masalah sosial baru. Tidak hanya menyoal kenyamanan, namun juga kesehatan, privasi, dan martabat penghuni.

BACA JUGA:Idul Adha Jadi Momentum, BRI Peduli Tingkatkan Produktivitas Peternak Domba di Desa BRILiaN Sukalaksana Garut

“Ini bukan sekadar masalah sempit atau luas. Tapi soal apakah seseorang bisa hidup layak, membesarkan anak, dan tetap sehat dalam ruang sekecil itu,” ungkap seorang aktivis kota layak huni.

Banyak yang menyandingkan rencana ini dengan standar internasional. Menurut UN-Habitat, ukuran rumah minimum yang dikategorikan sebagai layak huni seharusnya berada di kisaran 30 meter persegi atau lebih, dengan kriteria tambahan seperti ventilasi baik, pencahayaan cukup, dan akses air bersih.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman di Indonesia menyebutkan bahwa rumah harus memenuhi syarat keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kecukupan ruang. Ukuran 18 m² dianggap sulit memenuhi seluruh parameter tersebut.

Pemerintah berargumen bahwa solusi ini adalah bagian dari upaya mengejar backlog perumahan yang saat ini masih tinggi, yakni sekitar 9,9 juta unit. Dengan anggaran terbatas dan tekanan angka kebutuhan yang besar, solusi seperti rumah mikro dianggap masuk akal secara logistik dan fiskal.

BACA JUGA:BRI Pertegas Komitmen dalam Menjaga Ekosistem Lingkungan melalui BRI Menanam – Grow & Green

Namun, banyak yang mengingatkan bahwa mengejar angka semata bisa jadi kontraproduktif jika mengabaikan kualitas. “Menghapus backlog dengan rumah tidak layak adalah seperti menyembuhkan demam dengan rendam air dingin—tampak efektif tapi berisiko,” ujar seorang dosen perencanaan kota.

Dari sisi pengembang dan tata ruang, usulan rumah mikro bisa dimengerti. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, harga tanah melonjak dan menyulitkan pembangunan rumah tapak berukuran besar. Ukuran kecil dianggap efisien dan memperluas jangkauan.

Namun, bila efisiensi mengorbankan kebutuhan dasar manusia, maka kebijakan tersebut harus dievaluasi ulang. “Manusia bukan komoditas. Rumah bukan sekadar atap dan dinding. Tapi ruang hidup yang layak,” kritik seorang arsitek muda yang aktif dalam gerakan urbanisme.

Beberapa pakar menawarkan alternatif. Salah satunya adalah konsep rumah tumbuh, di mana rumah awal dibangun minimalis namun dengan struktur yang memungkinkan perluasan di masa depan. Selain itu, solusi vertikal seperti rumah susun sederhana milik (rusunami) juga disebut-sebut lebih ideal di lahan terbatas.

Kategori :