JAKARTA – Perekonomian Indonesia diramal masih sulit untuk bergerak di posisi 5 persen untuk tahun ini. Ya, meskipun tidak terjadi gelombang kedua virus corona atau Covid-19, tetap akan berat untuk mencapai di angka 5 persen.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 membutuhkan proses alias tidak bisa secepatnya tahun ini akan stabil. Oleh karena itu, ia tidak yakin ekonomi Indonesia bisa kembali tumbuh level 5 persen.
“Ketika kita terhindar dari second wave pun, artinya tidak mungkin kita beroperasi ekonomi dalam 100 persen. Nah, untuk kembali 5 persen, itu yang akan susah,” katanya dalam video daring, kemarin (27/6).
Kendati demikian, lanjut dia, pemerintah Indonesia harus tetap waspada dengan gelombang kedua Covid-19 akibat dilonggarkannya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebab menurutnya, mencermati kasus Covid-19 di Indonesia yang bergeser dari Jakarta, kini Jawa Timur, Jawa Tengah hingga Sulawesi Selatan. Episentrum kasus Covid-19 baru ini akan bisa berdampak pada ekonomi.
“Indonesia bukan tidak mungkin menghadapi second wave. Jakarta yang sekarang sudah dilonggarkan PSBB-nya harus terus dijaga supaya protokol kesehatannya benar-benar dilakukan sehingga second wavenya harapannya tidak terjadi. Tapi tantangan kita di Indonesia sekarang adalah episentrumnya bergeser ke Jatim, Jateng, Sulsel dan lain sebagainya,” ujarnya.
Untuk menekan penyebaran Covid-19 tersebut, katanya, protokol kesehatan yang diterapkan di seluruh wilayah Indonesia harus tetap diperketat. Termasuk juga pada zona hijau Covid-19. Dengan upaya tersebut, maka Indonesia bisa terhindar dari gelombang kedua Covid-19. “Ini memang akan terus jadi tantangan kita dalam beberapa bulan ke depan. Sehinga dengan protokol kesehatan yang disiplin kita bisa terhindar dari second wave,” ucapnya.
Dia menegaskan, tantangan yang harus diantisipasi dalam menghadapi pandemi Covid-19 adalah jangan sampai terjadi pergesertan episentrum kasus Covid-19 di daerah lainnya. Hal ini akan menghambat aktivitas ekonomi daerah, sehingga dampak lainnya jumlah PHK akan bertambah. “Dan sayangnya itu yang akan menghambat kita untuk menciptakan lapangan kerja, akan menghambat kita untuk menambah aktivitas ekonomi untuk menuju GDB per kapita yang lebih tinggi,” paparnya.
Terpisah, ekonom senior Universitas Perbanas sekaligus Direktur CORE Indonesia Piter Abdullah memperkirakan, perekonomian Indonesia masih relatif. Artinya, dunia usaha belum bangkrut. “Memang Kita diambang resesi, tapi dunia usaha belum collapse. Selama dunia usaha masih belum collapse maka ada peluang kita bisa melakukan recovery secara cepat. Tapi bila dunia usaha sudah terlanjur collapse dan sudah merambat ke sistem keuangan, recovery akan berjalan lambat,” katanya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (28/6).
Mengenai asumsi pertumbuhan ekonomi tahun ini, ia sepakat dengan proyeksi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan DPR RI. Diketahui, Sri Mulyani kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi nasional dari minus 0,4 persen sampai 2,3 persen menjadi 0,4 persen sampai 1 persen pada tahun ini. Revisi tersebut lantaran memperhitungkan kemungkinan kontraksi ekonomi pada kuartal II/2020.
“Asumsi pertumbuhan ekonomi yang disepakati pemerintah dan DPR RI menurut saya sesuai dengan argumentasi itu. Jadi masih realistis sepanjang dunia usaha kita sepanjang tahun 2020 ini tidak terlanjur collapse,” ujarnya.
Nah, agar ekonomi Indonesia tidak semakin anjlok, maka penerapan protokol Covid-19 jangan longgar sehingga wabah corona yang berkepanjangan kembali merontokkan ekonomi di Tanah Air. “Menurut saya akan sangat bergantung kepada penanganan wabah Dan kelangsungan pelonggaran aktivitas ekonomi. Jadi, jangan sampai terjadi lonjakan kasus Covid-19 yang ekstrim yang memaksa pemerintah mengetatkan kembali PSBB,” ucapnya.
Selain itu, menurut Piter, realisasi stimulus yang sudah disiapkan pemerintah yang jumlah hampir tembus Rp700 triliun belum terserap dengan baik. Padahal, saat ini masyarakat sangat membutuhkan bantuan tersebut dari pemerintah. “Di sisi lain pemerintah juga harus mempercepat realisasi bantuan kepada masyarakat terdampak dan dunia usaha yang sampai saat ini masih sangat lambat,” pungkasnya.
Contohnya, stimulus kesehatan yang sebesar Rp75 triliun, namun yang baru terserap 1,35 persen. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan kepada para menterinya untuk bekerja cepat dan tidak biasa-biasa saja dalam mitigasi Covid-19 ini.(din/fin)