Tidak.
Syukurlah.
Ia pilih melawan apa saja tapi masih di Amerika.
Medan arena perlawanannya pun sudah ia pilih: Oklahoma.
Waktunya pun ia pilih: Juneteenth –tanggal 19 Juni 2020.
Bukan tanpa perhitungan matang.
Di kota Tulsa, Oklahoma, di tanggal itu, 1921, terjadi kebangkitan kulit putih. Hari itu ribuan orang kulit putih menyerbu perkampungan kulit hitam. Ribuan bangunan ludes. Dibakar. Banyak orang kulit hitam terbunuh: lebih 300 orang.
Sejarah mencatat, itulah kerusuhan rasial terbesar di Amerika.
Trump memutuskan: akan kampanye besar-besaran di Tulsa, Oklahoma. Di tanggal 19 Juni 2020. Di lokasi dekat peristiwa Juneteenth 99 tahun lalu itu.
Cobalah tebak: apa maksudnya. Udang jenis apa yang ada di balik peyek-e.
Banyak yang membaca begini: itulah saatnya kaum kulit putih bangkit. Unjuk diri. Tampil. Show of force. Setelah berminggu-minggu seperti terpojokkan oleh demo kulit hitam di seluruh negeri.
Apalagi demo antiras itu sukses mengusung tema: Black Lives Matter. Sampai semua pemain Liga Inggris pun ikut serta. Mereka mengganti nama di belakang kaus dengan tulisan setengah lingkar: Black Lives Matter.
Dunia menyambut gerakan antiras itu dengan gegap gempita. Trump tidak hanya terpojok di dalam negeri. Pun sampai Eropa.
Lawan! Itulah sikap akhir Trump.
Hebohnya bukan main. Penentangan rencana kampanye besar di Oklahoma itu meluas. Sampai digugat ke pengadilan. Tapi Trump yang menang.
Trump tetap kukuh dengan perlawanannya. Hanya tanggalnya saja ia mundurkan sehari –tumben mau.