Jokowi Cium Gelagat Korupsi

Selasa 16-06-2020,07:42 WIB
Reporter : rh
Editor : Ra

JAKARTA – Presiden Joko Widodo mencium ada gelagat korupsi dalam penggunaan dana Rp677,2 triliun untuk penanganan COVID-19. Polri, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk menindak tegas pejabat maupun pelaksana yang berniat mencuri uang negara tersebut.

“Silakan bapak atau ibu gigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan. Kepercayaan rakyat harus terus dijaga. Kalau ada yang masih membandel, ada niat korupsi, ada niat jahat. Tapi saya juga ingatkan. Jangan menggigit orang yang tidak salah. Jangan menggigit yang tidak ada mens rea. Jangan juga menebarkan ketakutan kepada para pelaksana dalam menjalankan tugasnya,” tegas Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Senin (15/6).

Menurutnya, pemerintah tidak main-main dalam soal akuntabilitas. Dikatakan, pencegahan harus diutamakan tata kelola yang baik harus didahulukan. Kepala negara menegaskan tugas para penegak hukum adalah menegakkan hukum.

Presiden, BPKP, inspektorat dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah aparat internal pemerintah yang harus fokus pada pencegahan dan perbaikan tata kelola. Kerja sama sinergi dengan lembaga-lembaga pemeriksa eksternal, BPK, harus terus dilakukan demikian. Juga sinergi antara aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan KPK harus kita lanjutkan,” terangnya.

Jokowi juga meminta agar dibuat sistem peringatan dini bila ada potensi korupsi. “Bangun sistem peringatan dini. Perkuat tata kelola yang baik, transparan dan akuntabel. Semua langkah pemerintah yang cepat dan tepat harus akuntabel,” tukasnya.

Pemerintah menyatakan total biaya yang dikeluarkan mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia mencapai Rp677,2 triliun. Rincian, pertama alokasi untuk bidang kesehatan sebesar Rp87,55 triliun termasuk di dalamnya untuk belanja penanganan COVID-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.

Kedua, untuk perlindungan sosial yang menyangkut Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, bantuan sosial (bansos) untuk Jabodetabek, bansos non-Jabodetabek, Kartu Pra Kerja, diskon listrik yang diperpanjang menjadi enam bulan, dan logistik untuk sembako serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa senilai total Rp203,9 triliun.

Ketiga, dukungan kepada UMKM dalam bentuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi dan mendukung modal kerja bagi UMKM yang pinjamannya sampai Rp10 miliar serta belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja darurat. Keempat, untuk insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya mencapai Rp120,61 triliun.

Kelima bidang pembiayaan dan korporasi termasuk di dalamnya adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk BUMN, penalangan untuk kredit modal kerja darurat untuk non-UMKM padat karya. Selain itu, belanja untuk premi risiko bagi kredit modal kerja bagi industri padat karya yang pinjamannya Rp10 miliar-Rp1 triliun senilai total Rp44,57 triliun. Keenam, dukungan untuk sektoral maupun kementerian/lembaga serta pemerintah daerah yang mencapai Rp97,11 triliun.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan upaya pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak wabah COVID-19 melalui biaya Rp677,2 triliun. Ini harus dilakukan secara cepat dan tepat agar mencegah potensi terjadinya penyimpangan.

Sri Mulyani menyatakan pemerintah saat ini memiliki dua tantangan besar dalam menggunakan anggaran senilai Rp677,2 triliun. Yakni dari sisi penyaluran dan penargetan terhadap sektor terdampak. “Langkah-langkah cepat ini ada konsekuensinya. Anggaran meningkat namun akan muncul tatanan kedua yaitu dari sisi delivery dan targeting,” Sri Mulyani di Jakarta, Senin (15/6).

Saat ini pemerintah sedang diuji melalui kecepatan dan ketepatan dalam membuat kebijakan dalam merespon perkembangan wabah COVID-19. “Perubahan APBN dan APBD yang begitu cepat dan dalam situasi emergency pada 2020 ini pasti memberikan konsekuensi terhadap kepatuhan akan tata kelola dan akuntabilitas,” terangnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menegaskan meskipun upaya pemulihan ekonomi dilakukan secara cepat dan tepat, namun pelaksanaannya harus mengedepankan tata kelola yang baik serta akuntabel. “Kalau kita tidak memiliki niat buruk, seharusnya seluruh aparat merasa cukup tenang dan percaya diri melaksanakan tugas-tugas kedaruratan ini,” ucapnya.

Sri Mulyani berharap pengawasan secara internal terhadap upaya pemulihan ekonomi dapat ditingkatkan baik melalui inspektorat jenderal maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kita menyadari langkah yang tepat pasti tidak sempurna. Pasti ada hal yang tidak 100 persen tepat. Saya berharap BPKP serta aparat penegak hukum berperan aktif,” terangnya. Dikatakan, pengawasan harus ditingkatkan mengingat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih akan terus bergerak dan termodifikasi. Sehingga potensi moral hazard dapat diminimalisir.(rh/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait