JEKTVNEWS.COM - Industri aset kripto di Indonesia menghadapi perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun jumlah investor dalam aset kripto terus meningkat, nilai transaksi kripto di Tanah Air mengalami penurunan tajam. Pada tahun 2021, nilai transaksi mencapai Rp859 triliun, namun pada 2022, angka itu turun drastis menjadi Rp306,4 triliun. Bahkan pada September 2023, nilai transaksi hanya mencapai Rp94,4 triliun. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang penyebab penurunan tersebut. Salah satu faktor yang dianggap memengaruhi penurunan nilai transaksi adalah pandemi COVID-19. Selama pandemi, banyak individu memanfaatkan dana yang tidak digunakan dalam sektor riil untuk berinvestasi dalam aset kripto. Namun, dengan berjalannya waktu dan pemulihan ekonomi, minat terhadap aset kripto mungkin telah berkurang.
BACA JUGA:Menteri Sosial Bingung Terkait Data Penerima BLT El Nino
Selain itu, pengenaan pajak juga menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi penurunan nilai transaksi aset kripto. Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengguna aset kripto. Walaupun tingkat pajak yang dikenakan sebenarnya tidak terlalu besar, hal ini tetap dianggap sebagai beban oleh sebagian investor. PMK 68/2022 menetapkan bahwa pembeli atau penerima aset kripto dikenakan PPN sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi jika dilakukan di bursa terdaftar Bappebti, dan 0,22 persen jika dilakukan di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti. Sementara penjual atau yang menyerahkan aset kripto dikenakan PPh sebesar 0,1 persen untuk transaksi di bursa terdaftar Bappebti, dan 0,2 persen jika dijual di bursa yang tidak terdaftar di Bappebti.
BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Gebrakan Baru, Revisi Regulasi Kendaraan Listrik untuk Tarik Investasi!
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Robby, menganggap bahwa pajak yang dikenakan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini mungkin telah mendorong modal keluar dari Indonesia, yang dapat mengarah pada transaksi aset kripto yang dilakukan di pasar global. Ironisnya, masyarakat tidak mendapatkan perlindungan hukum jika bertransaksi di bursa global. Meskipun nilai transaksi aset kripto mengalami penurunan, Robby tetap menekankan bahwa kripto masih menjadi aset yang menarik bagi banyak investor.
Ketidakpastian ekonomi global membuat banyak pemodal melirik aset kripto sebagai alternatif investasi yang relatif aman dari dampak isu-isu ekonomi global. Selain itu, faktor seperti halving Bitcoin yang dijadwalkan pada tahun 2024 dan pengajuan Exchange-Traded Fund (ETF) Bitcoin oleh institusi global turut meningkatkan minat terhadap aset kripto. Meskipun industri aset kripto menghadapi tantangan, pasar masih optimis terhadap pertumbuhan jangka panjangnya, dan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, terus berupaya untuk menciptakan kerangka kerja yang seimbang untuk perkembangan industri ini di Indonesia.